11 January, 2014

Lautan Kenangan

Dibalik ruangan ini, aku bersembunyi di tengah keramaian. Aku benci keramaian. Aku lebih suka berada sendiri dikamar dibawah naungan AC. Aku "dipaksa" kedua orang tuaku untuk datang kepesta ini. Menyebalkan.

Kupikir, aku sudah cukup terlalu lama berada disini. Dengan menguatkan batinku, dengan menahan segala emosiku, perlahan aku keluar dari toilet. Selangkah keluar dan hiruk pikuk keramaian itu sudah datang lagi.

Raut wajah bahagia bertebaran dimana-mana, dan raut wajahku aku paksakan untuk bahagia juga. Aku masih berusaha untuk tidak mengingat nama, wajah, dan senyuman itu.

Aku tidak ingin berjalan lagi. Aku tidak sanggup. Aku tidak kuat. Aku bersender ditiang ini. Orang-orang yang berlalu-lalang membawa makanan. Makanan itu dilahap sampai habis. Makanan disini tidak membuatku tertarik. Bukan karena tidak enak, napsu makanku sudah hilang sejak dulu. Aku iri melihat mereka bisa makan selahap itu. Semenjak mendengar berita ini, aku sudah tidak pernah makan dengan lancar. Mulutku serasa terkunci untuk dimasuki makanan. Bahkan, hari ini aku hanya makan siang saja. Sampai sekarang, perut ini masih belum meminta makan sesuappun.

Ingatanku terbawa saat aku melihat sepasang kekasih duduk disana. Mereka makan bersama dan saling menyuapi. Aku tersenyum kecil melihat kelakuan mereka berdua. Airmata tergelincir dipipiku tanpa sengaja. Aku menghapus secepatnya.

Kekasih itu sukses meramaikan pikiranku dengan wajahnya. Inilah yang menyebabkan aku benci keramaian. Aku menutup mataku dengan keras dan membukanya lagi. Berulang-ulang aku lakukan itu. Berharap pikiran itu hilang.

Mataku membesar ketika melihat mereka. Mereka yang membuat hidupku hancur. Aku berpura-pura berjalan kearah lain untuk mengambil minuman. Aku meminum seteguk. Aku melihat kearah mereka lagi memastikan keadaan aman. Mereka berdua berjalan kearahku. Aku memalingkan wajahku. Mereka membawa sekeranjang souvenir dan sekelompok kru-kru yang sedang merekam kebahagiaan mereka sekarang. Aku menahan air mata yang sudah membasahi mataku. Dengan berbalut jas hitam mengkilap dan gaun putih yang menawan, mereka tersenyum kepadaku. Mereka mendekatiku. Aku mencoba mengeluarkan senyum terindahku. Aku tidak ingin dia melihat pedih dihatiku ini.

"Selamat menempuh hidup baru ya!" Tidak, jangan.
Aku menggulurkan tanganku dengan lemas.

"Iya, terima kasih."
Mereka menggulurkan tangan mereka juga. Saat aku bersalaman dengannya, kehangatan itu tidak menjalar lagi. Aku sedikit kecewa. Mungkin karena dia mengenakan sepasang sarung tangan putih. Aku masih berusaha memancarkan senyumanku.


Dia menyondorkan sebuah souvenir. Aku terkejut sedih bercampur senang. Sebuah boneka kecil yang tidak asing lagi dimataku. Boneka itu adalah boneka idamanku. Dulu, dia berjanji akan membelikannya untukku. Memang dia menepati janjinya, tapi disaat aku tidak ingin mengumbar janji itu lagi. Aku tidak ingin boneka ini. Aku hanya ingin dirinya.

"Terima kasih." Jangan boneka ini. Ini akan membuatku semakin jatuh kedalam cintamu.

Dia pergi menjauhi ku. Tidak jangan pergi. Dia pergi secepat dia meninggalkanku demi perempuan yang sekarang bersatu dengan hidupnya. Dia menaiki panggung mewah itu dan menggambil gitar. Dia menyanyikan sebuah lagu istimewa untuk istrinya. Mataku hanya menatap dirinya, tak ingin berkedip. Membayangkan jika lagu itu dibuat untukku. Membayangkan jika yang duduk dimimbar itu aku.

"Not sure if you know this, but when we first met..."

Dia mulai bernyanyi. Aku hanya menutup mataku. Membayangkan segala hal yang tidak akan pernah terjadi. Alunan nada ini terus mengerugutiku. Aku bisa merasakan ketulusan cinta dia kepada wanita cantik itu, bukan aku.


Dia berjalan kearah wanita itu dan mengajaknya menari bersama. Baiklah, aku ingin pulang. Aku tidak ingin berlama-lama dipesta ini. Ini bukan pesta, ini lautan kenangan. Sebentar lagi aku yakin aku akan tenggelam dan mati jika terus berada disini. Benteng pertahanan air mata ku pecah. Air mataku keluar lagi. Aku melepas high-heels ku, semoga saja aku juga bisa melepas kenangan itu. Aku membawa high-heels dan berlari keluar dari ruangan ini. Aku tidak peduli mata-mata yang tertuju padaku. Aku tidak peduli make-up ku yang luntur. Aku tidak bisa melihat mereka bahagia bersama dalam suatu ikatan yang suci.

Aku berhenti disebuah tempat yang membuat air mata ini tertunda untuk mengalir. Disini aku bisa melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Aku melepas high-heels ku dan mengarahkan tanganku keatas. Ingin ku petik bintang itu untuk menyinari hatiku yang sekarang menjadi kelam. Aku menutup mataku. Membayangkan lagi jika dia berada disampingku.

Aku tidak boleh menangisi orang yang tidak pantas aku tangisi.

No comments:

Post a Comment