31 January, 2014

Suka Berselimut Duka

Sosok wajahmu datang berkunjung. Mencurahkan keluh kesah dan membuat emosiku terpancing. Mengoleskan belas kasihan pada hati. Memakan seluruh suka cita yang ada. Kau memang licik. Bahkan, kau belum memberi kesempatan agar aku bisa merasakan bahagia.

Rumah sakit datang menjemputku. Berusaha mengobati hati yang sudah menghadapi masa kritis. Setetes demi setetes air mengalir. Tangisan demi tangisan menggelengar. Terlambat.


Retakan sudah terbentuk. Sulit untuk disembuhkan. Aku butuh cinta. Banyak cinta yang harus aku terima dan tidak ada yang mendonorkannya untukku. Terlalu berharga untuk dibagi. Sangat terbatas.

Segenang air bahagia aku persiapkan. Berharap, dia akan datang membersihkan duka yang melekat. Kau malah menumpahkan setetes air kesedihan. Menyebar, bercampur, dan menyatu menjadi duka. Tawa berganti menjadi tangisan. Hari bahagia yang berselimutkan kesedihan.

30 January, 2014

Teori Bumerangku

Kesedihan masih mengisi setiap detik yang berlalu. Berdetak kencang, menenggelamkan diri ku ke dalam kelamnya cinta. Aku sadar, ini hanya akan menyiksa diriku. Membakar semua kebahagiaan yang ingin tumbuh.


Bayangan itu masih terus terdiam disana. Mengambil seluruh perhatianku dan mencurinya. Aku tidak boleh terus meratapi nasib. Dia sudah pergi jauh dan tidak akan pernah selangkah pun berbalik ke arahku. Hanya tersisa bayangan kalut yang setia menemaniku.

Sendirian di sini membuat pikiranku melayang entah kemana. Terkadang ke masa lalu. Terkadang juga sosok dirinya. Aku menghapusnya. Namun, dia kembali terlalu cepat. Bahkan, aku belum sempat merasakan hawa bahagia.

Sekali, aku membayangkan sebatang bumerang. Seumpana dengan dirinya. Dia berjalan menjauhi hidupku. Jika dia memang milikku, dia pasti akan kembali. Kepada hidupku yang sudah melempar dirinya. Dia telah terlempar dan akan tertangkap lagi oleh diriku.

Duka tidak akan menyelesaikan apa-apa. Masalah juga tidak akan berakhir dengan air mata. Semoga saja teori bumerangku akan memecahkan kesedihan yang terus membuncah ini. Tetap menatap ke depan. Larangan membuka lembaran lama harus ku patuhi.

Berhasil atau Gagal



Segala sesuatu terjadi dengan sebab dan akibat. Rakit sebab akan menghantarkanku ke pulau akibat. Aku hanya bisa memetik setiap buah yang tumbuh disana. Tergantung baik atau buruknya perlakuan. Tergantung semua nutrisi yang aku persembahkan.

Pasti ada yang memanah diriku dengan kebencian. Entah itu tajam atau tidak. Sakit memang, tapi tidak boleh terpancing. Semua keputusan berada di tangan ku. Tak boleh terbawa arus itu dan menjadi terombang-ambing. Satu tekad ini harus tetap dalam keadaan utuh. Tidak tergores sedikit pun.

Bunga pujian juga tidak sedikit di lemparkan. Semerbak harumnya memenuhi ruangan. Menimbulkan lengkungan senyum di bibir. Aku sempat terbawa suasana itu. Terhempaskan ke dalam dunia yang akan menjatuhkanku. Terlalu membanggakan diri, terlalu menghambat diri untuk maju.

Garis akhir ku kira sudah ku raih. Namun, itu salah besar. Jalur berkelok-kelok dan panjang sudah menungguku. Dengan berbagai jebakan di dalamnya. Menyeramkan, tapi aku harus berani menyelesaikannya. Menanggung semua resiko dan menyerahkan keberhasilan. Menutupi beratnya beban dan menunjukan ringannya mengangkat tinggi mendali kemenangan.

Kalah bukan berarti tidak bisa menang. Hanya saja, masih ada yang lebih pantas untuk memperolehnya. Menang bukan berarti tidak bisa kalah. Tanpa sebuah tanggung jawab, keberhasilan itu akan di rampas dan berbalik menjadi kegagalan. Hidup manusia selalu berputar.

Pertahanan akan menjadi lebih sulit dari pada mencapai keberhasilan. Tanpa tak-tik yang telah di susun sedemikian rupa, semua itu akan musnah. Ingat, tidak boleh saling menjatuhkan. Bersaing namun tetap saling membangun. Menyadari posisi dan potensi setiap orang. Tapi, jangan lengah. Keberhasilan dan kegagalan hanya berbeda tipis. Tidak jauh.

28 January, 2014

Masih Terlelap

Belajar merupakan kewajibanku. Termasuk, belajar mencinta. Aku tidak tahu makna cinta yang sebenarnya. Hambar. Sma sekali tidak bisa merasakan rasa cinta yang bergejolak di mana-mana itu.  Pengecapanku seperti tidak berfungsi, sangat buruk. Aku terus memasukkan berbagai bumbu dan masih saja sama.

Guruku, dirimu. Kau menuntunku mengaduk semua komponen yang aku butuhkan untuk bisa menyajikan cinta. Kau mengingatkan setiap langkahku. Tanpa sengaja, mengoreskan makna cinta dalam benakku.

Kau bilang, cinta begitu khas. Rasa yang terkandung di dalamnya bisa membuat siapa saja terhisap. Kau mewarnai setiap hariku dan melukiskan kebahagiaan didalamnya. Aku sempat terlena, terhipnotis dan ikut merasakan semua hal yang kau dongengkan itu.

Ternyata, hanya omong kosong. Telinga ini membeku mendengar setiap kata yang ingin kau lontarkan lagi. Aku terbengkalai lemas, melihat jejak yang kau tinggalkan. Semua air duka itu tumpah. Aku memuntahkan kembali semua rasa yang sempat aku rasakan.

Retakan itu perlahan-lahan meluas. Membesar dan memecahkan semua senyum yang ada. Cinta itu hanyut dari hatimu. Dan berlayar memenuhi setiap relung hatiku. Sedikit demi sedikit menumpuk. Aku terus mencinta dan kau terus membenci, menjauh, dan menghilang juga tak pernah melirik ke belakang.

Kata-kata itu belum lenyap dari pikiranku. Aku masih tersenyum dongkol mengingat setiap kejadian manis. Menintikan air mata pada setiap kepahitan yang melukai hati. Menggerutu, terus menggerutu. Penyesalan menggelegar. Namun, apa gunanya menyesal.

Perlahan, berusaha bangun dari kelamnya dunia cintaku. Tapi, sekarang, masih terlelap dalam pilu.

Harapan yang Terselinap


Full View and Download two heart Wallpaper with resolution of 2560x1600 for your desktop, mobile

Lem ini masih melekat erat. Di antara dua hati yang tidak sepantasnya merasakan cinta. Maaf, sedikit perombakan, hanya diriku yang ingin terus berada di sisinya. Hanya hatiku yang masih memberontak untuk menggenggam erat dirinya sehingga tidak lepas.

Aku tahu ini hal yang sangat tidak masuk akal. Membiarkan diriku terus tersakiti seperti ini. Dan, aku tetap bersikeras melakukannya. Belum bisa membiarkannya mencinta selain denganku. Belum rela. Mungkin egois, tapi tidak bisa dipungkiri. Aku ingin terus bersama dirinya.

Hembusan angin menerbangkan setiap helai rambutku. Seandainya saja angin ini bisa menerbangkan semua rasa yang teroleskan di hati. Semua tidak akan berakhir seperti ini.

Sayup-sayup wajahnya masih tertinggal di benakku. Tak ingin menjauh. Menyelinap ke setiap tidurku dan berlarian di setiap hariku.

Memang, aku bukanlah miliknya, lagi. Namun, sebutir harapan masih tertselinap. Aku masih berharap kita akan kembali menjadi seperti dulu. Sepasang kekasih yang saling mencinta. Bukan sepasang orang yang berpura-pura tidak saling mengenal.

Tersadar Tentang Kalian


Hentakan yang keras ini berhasil membangkitkan kesadaranku.Menghantarkan ke masa lalu dan memetik ilmu. Cinta yang tidak kecil sudah ku sebarkan kepadanya. Tak masalah, itu hanya kejadian yang sudah berlalu.

Silahkan, aku tidak melarangmu. Tentu saja aku tidak bisa memerintahmu. Aku bahagia bisa merangkak naik ke atas dari bawah jurang permainanmu. Aku juga senang bisa menyaksikan kebersamaan kalian berdua.

Seorang perngkhianat dan seorang perusak. Memang cocok. Dendam itu sudah mereda. Namun, jangan sekali-sekali menyebut kejadian dulu atau kau bisa menerima lonjakan dari ku.

Mencampuri urusan orang lain, hanyalah pekerjaan yang tak bernilai. Termasuk kalian. Sebuah tawa menyindir itu aku hadiahkan untuk kalian. Banyak orang berceloteh sesuka hatinya tentang kalian. Aku sempat mengamuk. Bosan mendengar pujian yang mereka hanturkan. Dan sekarang, aku tidak peduli.

Hanya satu kata yang ingin aku eja. Berbahagialah. Tawaran dirimu untuk berpisah memang tepat. Aku tidak menyesal. Namun, jangan menyesal. Gelar buruk sudah aku cap tentang kalian.

27 January, 2014

Selalu Gagal


Mengalah. Mengerti. Menghargai. Menerima. Bertahan.
Semua sudah aku perbuat. Tak ingin menyakiti. Tak ingin melepaskan. Namun, diriku selalu terabaikan. Selalu Gagal.

Kesepian menguncur mengisi setiap detik yang berlalu. Sebelumnya telah hilang, tapi dia kembali datang. Bertolakbelakang denganmu. Kau belum benar-benar pergi. Kau hanya menjauh. Melangkah dan terus melangkah menjauh. Merangkak ke sebuah jurang perpisahan.

Segenap hati ini tidak membiarkannya. Berusaha menghabiskan seluruh waktu untuk mencari cara. Mengemablikan seluruhnya kembali seperti semula. Dia menantang, dan tak bisa menghentikanku. Segala cara terus aku lakukan, namun hanya seonggok angin yang berhasil aku terima. Harapanku tidak pupus, tenagakulah yang habis. Menatap pancaran kebahagiaan saat kau berada di ujung hidupku.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku tidak tahu apa yang merasukimu. Kita tidak boleh terus berada di posisi ini.

Aku tidak bisa merelakan dirimu bahagia bersama orang lain.
Jangan pergi, ku mohon.

25 January, 2014

Teman, Tidak Lebih.

Bergitu rindu, begitu ingin melihat wajahnya, begitu ingin mendengar suara paraunya. Mencoba mengubah pikiran itu, namun tak mampu. Penanda apa ini?

Terbersit segelintir harapan. Aku tidak banyak berharap, tidak berani. Seulas senyuman selalu timbul saat kamu menyebut namaku. Meski hanya sekali. Kaau selalu memasangi gelak tawa di bibirku. MEmbuat hati ini serasa ingin terbang. Tapi, kau juga bertindak sama saat dengannya. Bahkan, aku bisa menangkap pancaran cinta yang kau sebarkan. Sakit.

Seluruh harapan itu telah sirna, habis, kosong. Berangsur-angsur menjadi sebuah pilu. Tak pernah melesat di pikiranku. Namun, kenyataan kembali menyerbu diriku. Menyergapku dan menyerang ulu hatiku. Retak.

Sedari dulu, aku memang tidak banyak mengeluarkan harap. Dan, sekarang aku hanya terus menatap wajahnya sebagai seorang rekan. Mungkin perasaan ini terhalang. Ingin bergerak. Dan, aku memilih untuk menghancurkan seluruh rasa yang ada. Menjaga erat seluruh pertemanan ini. Sehingga tetap bisa mendengar lantunan suaranya yang menyejukkan hati.


24 January, 2014

Bertahan di Balik Tembok

Dinding kokoh ini, tempat persembunyianku. Bebas untuk menyaksikan sosok dirinya yang selalu naik-turun tangga. Mataku seolah tak berkedip saat dia lewat. Jantungku seolah tak bisa berdetak dengan normal. Hati mungilku seolah telah di raih olehnya. Aku berusaha mengipas diriku dengan ketenangan.

Tak banyak yang bisa aku perbuat. Berbagai tindakan sempat terlintas dan aku lebih memilih untuk diam. Tetap terkapar di balik tembok. Hanya mengintai, tak lebih. Bahaya jika aku memulai untuk maju.

Kau tidak akan pernah tahu. Tentu saja, hanya aku yang mengerti. Seorang tampan yang tak mungkin jatuh jati dengan perempuan sepertiku. Berjuta-juta bunga bermekaran di hatiku, namun aku yakin, suatu saat akan layu. Tak ada yang menyiram ataupun memupuknya.

Pantang menyerah. Tidak boleh cepat mundur. Tapi, hasil apa yang sudah ku raih? Nol Besar. Aku tak sanggup mencapai level yang setinggi itu. Meratapi nasib.

Aku sudah banyak berjasa. Aku sudah banyak memuji. Menolong tanpa dia sadari. Bersusah payah mengaitkan tali cinta diantara kita. Dan, kau tidak pernah tersentuh sedikitpun. Sulit sekali.

Tak perlu mengenalku, tak perlu bertutur kata. Hanya saja, tangkap isi hatiku. Jangan buat dia terluka, sudah terlalu banyak beban yang perlu dia tanggung.

Alhasil, aku masih terus berada disini. Di hadapan tembok kaca bening kokoh dan jarak yang memisahkan kita.

23 January, 2014

Sulit Melontarkannya


Kejadian yang lalu, belum tentu meninggalkan keberanan. Mengandung misteri, mengandung tanda tanya. Mungkin lembaran itu telah kusam, tapi kisah di dalamnya bersemayam kekal. Sedikit pudar, banyak terbuang. Tetap saja, pernah bersarang di hati.

Gagasan dari buah bibir masyarakat tidak banyak membantu. Merantau hiburan untuk menorehkan tawa juga belum berhasil. Menyibukkan diri dengan beribu tindakan, hanya bertahan sementara. Di tengah kesunyian, kejadian itu menodai pikiran. Gagal.

Beribu kata telah ku susun di dalam benakku. Memperbaiki kesalahan kata yang ada. Menyatukan isi hati yang tersimpan. Merangkainya menjadi sebuah lantunan kata yang indah. Di saat pintu terbuka lebar untuk melontarkannya, suaraku tertahan. Bak terkunci, tak ingin memuntahkannya. Membisu. Takut akan badai yang akan menghadang.

Aku ingin menyusup ke dalam mimpimu. Menjelaskan secara rinci. Memerankannya dan terus bersamamu. Berdua dan tenggelam dalam kasih. Menyingkirkan rindu-rindu liar yang tumbuh. Menggali semua rasa kasih dan sayang di antara kita. Merenovasi kejadian lalu yang sempat diragukan.

Perdebatan

Tak boleh berbohong. Tak bisa jujur. Membuat pertimbangan, jalan tengah. Suara hati selalu menyaingi pergerakan bibirku. Ingin mengatakan, namun aku dililit kehormatan. Mulut dan hati berkelahi, lagi. Beradu untuk mendapat posisi teratas.

Cinta yang berlimpah terus mengalir untukmu. Cintamu kandas untukku. Gemercik kesedihan meracuni tubuh. Mengangkutnya hingga ke hari-hariku. Dia bersorak-sorak karena bertahta dihatinya. Aku tidak boleh selangkahpun mencoba merebut tahta itu. Aku harus memikirkan perasaan mereka. Lantas, siapa yang menghargaiku?


Aku berenang ke arah cahaya tiga perempat lingkaran itu. Membuka lembaran yang baru. Selagi aku berusaha, ombak yang kencang mengurungkan niatku. Menghempaskanku kembali ke masa kelabu dulu.

Dambaanku, lihatlah. Aku terbengkalai. Melulur diriku dengan duka. Mulutku tidak selalu benar, namun bacalah isi hatiku.

22 January, 2014

Tak Bisa Bebas

Diam masih menyelinap di hariku. Bayang wajah itu meronta ingin menembus pikiranku. Gusar. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Semua pilu ku pikul. Meletakkannya dalam sebuah wadah. Berusaha melemparkannya ke permukaan mukamu. Menamparmu dengan semua sakit yang sudah ku tanggung selama ini.

Aku kembali terlarut dalam kesedihan. Menghisap semua kelam dan menelannya. Cinta telah aku lumuri dan kau menyiramnya dengan benci hingga sirna. Aku dihentakkan oleh kenyataan. Tembok yang baru aku rakit, ambruk dalam sekejap.

Segelintir kebahagiaan baru saja berada dalam genggamanku. Menyebarnya kepada setiap sanak saudara. Aku terlampau bahagia, aku terlampau senang. Tak terfikir, melumpuhkan semua perasaanku.

Jenuh sekali. Aku bosan terus seperti ini. Berada di ambang, tidak tahu mana yang benar. Merangkak naik takut terjatuh. Tidak mau menambah beban hati. Merambat turun, sulit. Pisau telah kau hunus dan kau jilati. Siap memotong hati tak berdosa ini.

Malam yang di hiasi gemerlap-gemerlip bintang terlalu di sayangkan untuk dilewati. Tak ada pilihan, aku tidak bisa bebas. Aku meceburkan diriku dalam lautan cinta dan membilas diriku dengan penat.

Memaksa terbebas dari jeratan ini, dengan dibasahi oleh berbagai celotehan yang menyinggung, aku tidak bisa. Hati ini tetap tertinggal dan terbalut obat.

Hanya bisa mengelus dada.

21 January, 2014

Rindu Terpendam



Tetes embun membasahi mata hatiku.Tak rela, melihat sosok wajahnya hanyut di balik kabut. Aku selalu berandai. Seorang itu akan muncul dan membawakan cintanya yang utuh, untukku. Melapisi kehidupanku dengan cinta dan mencabut semua geram di hati.

Lantunan musik seraya ingin mengembalikkan ku kepada kenangan kalut itu. Suara yang merdu ini menggemparkan seisi ruangan, mengetuk hati. Membuka kerinduan dan dengan sigap menjalar. Hasratku untuk bisa kembali menggenggam tanganmu belum memudar. Meski pasrah, gemuruh melodi lagu ini meningkatkan kerinduanku.

Aku terus mencoba menutupi maksud hatiku. Membunuh semua kerinduan yang terpendam. Sulit. Aku tak sanggup melepaskannya. Aku ingin dia menemani detikku yang berharga ini.

Ini. Sebuah sekop untukmu. Galilah, gali terus yang lebih dalam. Temukanlah kerinduanku. Keluarkan dia dari sana. Resapi segala kerinduan yang selalu ku simpan.

Tersesat

Alkisah, cinta selalu memberikan nuansa kebahagiaan. Merasuki hati siapa saja yang merasakannya. Begitu pula seharusnya dengan diriku. Namun, Dimana kebahagiaanku? Yang aku dapat hanyalah sebuah pedih., pahit. Semua orang berhak menertawaiku, termasuk kamu. Penderitaan ini adalah panggung hiburan untuk kalian. Aku hanya bisa terus bergulat dengan air mata. Jangan, jangan menetes.

Lelah untuk mencinta. Letih untuk menerima semua kenyataan. Cinta ini tidak boleh berada disini. Tersesat, tak tau dimana singgasananya. Bantu aku untuk menemukan arah. Aku terus meletakkan hati kecilku yang sudah terluka diatas telapak tanganku. Meminta pertolongan kepada semua orang. Merintih, memerlukan belas kasihan.


Tak berhenti, berjalan lurus kedepan. Mencoba mencari sebersit cahaya matahari. Dan, yang berhasil aku temukan, hanya ukiran wajahmu.

Pemilik Masa Laluku

Pernah suatu waktu, aku mengukir sebuah nama. Bermodalkan pensil warna, menghiasnya secantik mungkin. Aku merekatkannya pada halaman terakhir buku harianku. Berharap dirimu adalah yang terakhir untukku. Meski banyak perbedaan yang mengait, tidak membatasi kita untuk menumbuhkan rasa ini.

Pulpen ini menari-nari. Menuliskan sebuah kenangan bahagia dan mencoret semua pilu. Pulpen bocor, tinta berhamburan dimana-mana. Menutupi sebagian kisah indah ini.

Tidak bisa di pungkiri, berat untuk menghanyutkan semua yang terlewatkan. Dulu, diriku adalah milikmu, seutuhnya. Sekarang, hati ini saja yang menjadi milikmu. Dan aku tahu, kamu tidak mengetahui hal ini.

Aku menantang siapa saja yang berusaha mendekati hati yang rapuh ini. Kertas lusuh itu aku lepas dari belakang bukuku. Merobek dan memasukkannya kedalam sebuah kotak besar. Peti hartaku yang paling berharga. Kamu memanglah salah satu harta teristimewa yang pernah kumiliki.

Cinta tidak sirna dengan sempurna. Sekali cinta, tetaplah cinta. Meski pemilik masa laluku berangsur-angsur pergi dari hidupku.

Terjebak, Lagi



Perasaan ini kembali menggerogoti hatiku. Setetes demi setetes hujan mengingatkan satu per satu memori yang tidak ingin ku ingat. Begitu kelam. Air mata tak ku biarkan menetes. Bertaham didalam hati dan ku pendam. Aku berusaha melawan semua pilu. Menyadarkan hatibila dia tidak boleh terbelah.

Tawa keras itu tergiang terus di gendang telingaku. Menusuk hati dengan beribu jarum lancip. Merintihpun tidak berguna. Menangis juga tak sepantasnya aku lakukan.

Perasaan itu terombang-ambing. Menuju sebuah jurang yang gelap dan pengap. Terjatuh, sulit untuk bangkit. Tenaga sudah terkuras habis dan aku belum bisa bangun dari duka ini. Terjebak selamanya, untuk kedua kalinya.

20 January, 2014

Menulis Dalam Kelam


Tangan ini terus bergerak. Menempelkan sebatang pensil dan mengoyangkannya. Berusaha menggoreskan sepatah kata untukmu, diatas lembaran kertas lusuh ini, didalam buku perjalanan cintaku. Mulutku belum sanggup menyampaikannya. Meski satu per satu luka terus terukir, aku enggan berhenti. Aku tetap menulis seakan-akan  kau membacanya. Ibarat menanam kembali semua kejadian yang pernah kita lewati bersama. Pikiranku mendukung tindakan ini. Dia mendorong tanganku untuk bergerak secepat yang dia bisa. Di satu sisi, aku ingin melepaskanmu dari benakku. Namun, di sisi yang lain aku membutuhkanmu. Demi menulis, demi mencapai cita-citaku, tetaplah tinggal di dalam hidupku. Aku ingin menuangkan semua kisah yang bisa aku tulis ke dalam sebuah cerita. Sebuah kisah, seribu kenangan. Maafkan aku bila aku terus mengungkit masa lalu. Aku hanya ingin mengabaikannya. Membuatnya menjadi sebuah permata, sebuah bibit untuk bisa memetik impianku.

Bacalah, semua kisah ini aku persembahkan untukmu.

Kerinduan yang Membuncah


Sebuah kesunyian terpampang di hati, tanpa dirimu di dalamnya, hanya bayangan. Kamu tidak meninggalkan hati ini dalam keadaan kosong. Terbukti hawa cinta kau sembunyikan disana dan aku bisa merasakannya. Membuatku lemah utnuk melupakan kisah cintaku, kisah cinta kita. Pupus sudah harapanku untuk bisa kembali dalam dekapanmu. Kamu pantas terkurung di dalam hati wanita itu.


Kerinduan ini terus membuncah. Mata ini terus menintikan air mata di tengah lebatnya hujan. Seiring waktu berjalan, cinta tidak berangsur-angsur menghilang. Bayangan wajahmu masih bertahan. Bagai tak ingin lepas, tak ingin berpisah dengan diriku.

Mulutku tetap mengungkit-ungkit namamu. Memperkenalkan kepada siapa saja bahwa kamu pernah singgah di hatiku. Mengingat kejadian manis dulu, seolah menyejukkan suasana hatiku. Menimbulkan efek bahagia. Berbagi kisah manis, memutar kembali kerinduan.

Aku masih menyimpan dengan rapi semua tentang kita. Tidak aku biarkan kertas usang ini terlipat sedikitpun. Aku akan membakar dirimu dengan api cintaku, bukan membakar lembaran kertas ini. Sekian lama aku terus menulis. Membisikkan perasaanku ke daun telingamu.

Aku melukiskan sebuah nama di tepi hati. Namamu, nama orang yang pernah merawat dan merobohkan gudang cintaku. Aku tidak layak untuk berbuat seperti ini. Tapi, kerinduan ini terus tumbuh tak karuan. Hadir diantara kalut. Berkecamuk di setiap hari-hariku.

Antara Cinta dan Benci


Kedua pasangan itu belum hilang dari ingatanku. Kebahagiaan yang terjerat diantara mereka membuatku sedikit geram. Kebersamaan itu seharusnya milikku dan dia, bukan milik kalian berdua. Aku bisa memaksakan sebuah senyum di bibirku, tapi aku tidak bisa memaksakan dendam itu terhapuskan.


Aku benci menangkap kemesraan kalian. Layaknya menjatuhkanku ke dalam jurang curam. Kalian tega membiarkanku membusuk dalam kesepian. Menyelimutiku dengan semua luka. Aku hanya bisa memandangi kalian. Nuansa seorang pengkhianat sepertimu masih terasa. Kebahagiaan mungkin telah beranjak pergi menjauhi diriku.

Aku selalu berdebat dengan hatiku. Memerintahkannya untuk tidak membenci. aku selalu menelan semua air mata. Tidak ingin menunjukkannya kepada kalian. Sebongkah hati kecil ini masih mencinta. Aku tidak bisa memihak. Tunas benci masih tertanam dihati, sedangkan sebutir cinta masih tidak bisa ku lepas.

Mencoba merangkai sebuah kata untuk kalian, laksana merangkai dan memetik tumpukan mawar. Sekecil kesalahan bisa berdampak luka. Durinya akan menambah kepedihanku.

Jangan pernah menengok ke belakang. Jangan hiraukan aku. Tetaplah berada di dalam hatinya. Aku membencimu.

Tidak, lihatlah diriku yang sebenarnya. Aku hancur tanpamu. Kembalilah. Aku masih mencintaimu


19 January, 2014

Tujuan Akhir, Padang Tandus

Berbagai macam haluan telah kita lalui bersama. Badai silih berganti, kita terombang-ambing, tapi tidak meruntuhkan tujuan kita. Kapal pesiar yang kita buat bersama tidak lecet sedikitpun. Itulah berkat dari sebuah cinta. Memerlukan angin lebat untuk menghasilkan lengkungan pelangi. Kita bergandengan tangan bersama dan memijakan kaki diatas tanah tandus ini. Gersang. Ada sebatang kaktus yang terlihat dari kejauhan. Kau memberikan seulas senyuman dan menenangkan hatiku.


Kau menarik tanganku menuju kearah kaktus itu. Selangkah demi selangkah kita lewati. Aku beri seluruh kepercayaanku kepadamu. Asalkan ada dirimu disisiku, aku yakin keamanan berada ditangan kita. Dia mengeluarkan sebuah pisau dan memotong kaktus besar ini. Segelas air segar kami dapatkan. Dia menyerahkan air itu kepada ku. Dia mundur perlahan lalu pergi menjauhiku. Apa ini? Aku berusaha mengejar. Aku berusaha meneriakan namanya berulang kali. Namun tak sampai.

Dia membuangku dihamparan pasir ini. Kapal pesiar itu berlayar menuju arah pulang. Aku tidak menyangka. Tujuan terakhir ini adalah perpisahan. Aku tertunduk diatas pasir. Desir pasir segersang hatiku. Setetes dan segenang air mata meluncur. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sendiri disini bak menuju dunia akhirat. Setangkai bunga mawar tumbuh karena air mata ku. Semoga saja, air mata ini akan berakhir bahagia. Aku mengambil bunga itu dan menjepitnya diantara helaian rambutku.

Aku kembali terbaring diatas panasnya pasir dan dinginnya hatiku.


Tertimbun Kebimbangan

Suhu udara disini sangatlah rendah. Angin malam terus meusuk kulitku. Aku menutup semua pintu dan jendela. Sejak dulu, aku sudah menutup semua pintu di hatiku. Aku tidak berani membukanya. Takut. Sudah terlalu banyak orang yang aku biarkan masuk ke dalam. Sudah terlalu banyak luka yang terukir.

Aku meneguk coklat panas dan membiarkan kehangatannya menjalar di tubuhku. Lalu, aku berjalan sempoyongan kearah kasur. Menutupi diriku dengan selimut tebal. Sebuah boneka yang besar tepat berada di sampingku. Kesayanganku yang selalu menemaniku setiap malam. Aku memeluk boneka itu. Seakan-akan itu dirinya. Aku menghantamkan tinju kearah boneka. Dan aku kembali mengelus-elus kan bulunya. Perasaan ini membingungkan.

Kebosanan pun menghampiriku. Aku meraih sebuah benda mungil di depanku. Ada sebuah pesan masuk. Dia. Aku kembali meletakkan benda itu. Dia berhasil menghancurkan ketenangan yang aku miliki. Ada dua pilihan, membiarkannya atau membalasnya. Aku tidak yakin dia benar-benar ingin berhubungan lagi denganku. Bisa saja, dia memang ingin merusak ketentramanku.


Aku mengambil benda itu lagi. Ku balas dengan seperlunya. Ada sedikit hal yang membuatku tertarik. Tulisan yang tertera di depan layar ponsel terus aku baca berulang-ulang. Padahal hanya sebuah kata yang cukup singkat. Ting. Sebuah pesan masuk lagi. Setitik harapan muncul. Aku tidak mau kembali membuka pintu ini. Aku mencoba meneguhkan hatiku.

Aku menekan beberapa huruf dan menekan tombol 'kirim'. Ting. Senyum sedikit demi sedikit tumbuh di bibirku. Aku tidak bisa menahannya. Aku putuskan untuk tidak membalasnya lagi. Ting. Benda itu kumatikan. Aku melemparnya kearah kasur. Menyalakannya hanya akan meruntuhkan benteng pertahanan ini. Namun ada secarik harapan yang tertera. Aku ingin kembali bertukar kata. Sudah lama sekali benda ini tidak dipenuhi oleh pesan.

Hati ini tidak memiliki energi yang cukup. Kerinduan sudah berada pada posisi teratas. Melanjutkan atau menghentikannya? Memang kita adalah teman, Tapi masa lalu tidak dapat menyusun lagi pertemanan ini. Bimbang.

18 January, 2014

Menengok Mimpi


Udara di pesisir pantai ini terus menerbangkan rambut ku. Matahari menyengat kulit yang sudah ku oles krim. Butiran pasir menemani setiap langkahku. Aku menancapkan payung di pasir. Tenanglah, aku tidak menancapkan benda tajam itu ke hatimu. Aku menggelar sebuah tikar dan berbaring diatasnya. Burung-burung berterbangan sambil bernyanyi ria di udara. Membuat aku terbenam dalam mimpi.

Sebuah mobil mewah datang menjemput ku. Mengantarkanku ke sebuah tempat. Ramai sekali. Inilah tempat perjumpaanku dengannya. Sebersit ingatanku mulai terbuka. Aku kembali di bawa ke sebuah monumen. Butuh waktu dan perjalanan yang tidak singkat untuk sampai disini. Monumen cinta yang kami bangun bersama. Hubungan yang penuh tikungan dan kubangan air mata. Segala cara aku lakukan agar monumen ini tetap berdiri kokoh. Namun, aku telah sampai pada penghujung tenaga.

Dia hanya duduk diam menikmati kesengsaraanku. Kunci yang membuka pintu itu aku keluarkan dan dia tidak mencegahku sama sekali. Beribu cara aku keluarkan dan tetap saja berujung pada gerbang ini. Meskipun aku yang mengeluarkan kami dalam hubungan ini, aku belum menemukan obat penawar rasa itu. Rasa itu terus tumbuh meski selalu ku pangkas. Aku belum mendapatkan kunci untuk membebaskan ku dari masa lalu ku.

Kendaraan ini membawa ku kepada masa sekarang. Waktu sudah berlalu begitu lama dan hati ku masih tertuju padanya. Mimpiku adalah bersamamu. Melupakan mu adalah kewajiban yang harus aku lakukan. Pekerjaan terberat yang harus ku lakukan. Malaikat pemilik hatimu? Sudah pasti bukan aku.

Mataku terbuka. Ketidaktentraman ini selalu saja bercampur dengan mimpiku. Paduan antara perasaan dan mimpi terus mengunci ku dalam ruangan masa lalu. Mimpi yang tidak henti-hentinya menjenguk ku setiap aku terlelap.

17 January, 2014

Pecahan Harga Diri

Hinaan, sedikit banyak telah mengusik hidupku. Ocehan selalu saja mengikuti ku, kemanapun aku pergi. Olokan selalu berjalan dibelakangku, tidak pernah berhenti. Semua yang ku lakukan salah di mata mereka, tidak ada yang benar. Mereka memaksaku melakukan dan bila aku salah, pasti salah, mereka akan menjatuhkan aku lagi kedalam sebuah lubang pendosa. Keburukanku sudah tertampang di mata mereka.

Omonganku tidak pernah di dengar. Mereka menganggap hanya angin lewat, yang tidak penting. Harga diriku sudah pecah, aku tidak bisa menyatukannya lagi. Martabatku sudah sangat di injak. Mungkin aku terlalu membiarkan dirinya berkuasa atas diri ku. Padahal pemilik badan ini adalah diriku sendiri.

Aku di naikan saat mereka butuh dan aku di hempaskan dengan keras saat mereka tidak membutuhkanku. Aku bukan sebatang kayu yang bisa kau patahkan. Aku bukan sebuah tanah liat yang bisa kau ubah seenaknya. Aku bukan sebuah boneka yang bisa kau mainkan begitu saja. Aku seorang manusia, sama seperti kalian semua, mempunyai keinginan.

Balas dendam bukanlah pilihan terbaik. Membiarkanmu terus berulah juga bukan hal yang baik. Kesadaran untuk memperbaiki diri adalah yang paling benar. Pecahan harga diri ini akan aku satukan sebisaku. Aku tidak tahu siapa yang salah disini. Karma seorang yang bisa menjawabnya.


Secangkir Rasa

Cacing-cacing di perut ini meringgis untuk diisi. Tidak bisa membantah, aku mencoba membuka lemari makanan. Hanya ada sepasang toples susu bubuk dan sereal di sana. Aku mulai memberanikan diri memberi makan cacing ini, setelah sekian lama aku membiarkan isi perutku kosong.

Aku memeras perutku. Menahan semua rasa sakit yang menyebar. Aku mempercepat gerakanku, mengambil secangkir gelas dan sebatang sendok. Aku mengambil 4 susu bubuk. Serpihan-serpihan itu mengingatkanku akan hatiku yang tercincang menjadi kecil. Aku meraih teko air panas, lalu menuangkan air itu kedalam gelas. Kenangan hangat tertuang lagi didalam benakku. Ketika semuanya masih bertahan dalam hati, ketika tidak ada pisau tajam yang terasah. Lalu, aku mengambil 2 sendok sereal. Aku seperti menyendok kembali perih-perih yang aku gemari dulu. Banyak lelah dan perih yang aku dapat dan masih ku simpan. Setelah itu, aku menuangkan air putih. Putih, bersih, dan jernih seperti air mataku yang dulu selalu di berikan kepada malam-malamku. Terakhir, aku aduk semua komponen-kompenen itu. Terpisah lalu menyatu. Perih, cinta, benci, semua bergabung, menjadi sebuah rasa yang khas.


Aku teguk perlahan. Meneguk semua rasa istimewa dan akan menghilang selamanya dalam hidup ini. Tertelan dalam tenggorokan lalu tersaring antara pahit dan manis. Meninggalkan rasa manis dan membuang rasa pahit. Melangkah menuju hatiku. Menjadi sebuah vitamin, menjadi sebuah elemen. Dia tidak hilang dari hidup, dia tertinggal didalam liver, hatiku.

Aku juga bisa merasakan dia merangkak naik ke atas otakku, pusat pikiranku. Terbongkar. Itulah sebab selama ini gambaran wajahmu selalu menghiasi pikiranku. Rasa itu terletak dan tertinggal pula di dalamnya. Dirimu terikat dalam pikiranku. Menjadi sebuah simpul indah yang sulit untuk aku kembalikan. Cacing-cacing ini tertidur pulas dan berhenti meringgis.

Secangkir susu sereal. Secangkir rasa istimewa yang akan aku seduhkan untukmu, agar kamu dapat menangkap segala hal yang kurasakan.

16 January, 2014

Kebohongan Terbesar

Awan hitam tergantung dilangit dan cetakan wajahmu terjepit di mimpi ku. Aku menarik semua ucapan dustaku tadi. Jangan percayai itu. Nama mu masih tercatat dalam daftar. Meski sudah aku timpa dengan nama yang lain, meski sudah ku hapus dengan keras, bekas-bekas tulisan itu masih tertinggal.

Mulutku tidak bisa berbicara yang sebenarnya. Kejujuran terlempar saat hendak berbicara. Kebohongan menghampiri dan terlontarkan. Telingaku terlalu takut untuk menerima kata-kata darimu. Omong kosong yang berasal dari mulut manismu sudah memenuhi gendang telinga ini. Mata ku sudah memerah. Debu-debu cinta menyakitinya dengan parah. Hati kecilku, masih belum sempat sembuh. Penawarnya tidak bisa aku temukan. Paku yang kau tancapkan meninggalkan lubang dalam di sana dan sulit untuk di tutup.

Aku rindu saat berada didalam dekapan mu. Aku rindu suara parau yang pernah keluar dari bibirmu. Aku rindu ejekan yang selalu kita sebutkan dulu. Aku sangat merindukannya.

Aku hanya seorang dari sekian nama yang pernah melekat dihatimu. Wajahku tidak akan pernah terlintas di benak mu. Aku bisa menerimanya. Aku bisa menghargainya. Tolong, hargai juga perasaan ini yang tak kunjung hilang. Pantulan cinta ini terus naik dan turun. Kesengsaraan saat mendengar namamu selalu membalut hidupku. Terlalu sulit untuk mengakui.

Kebohongan terbesar ku, aku berhasil melupakannya.


Untukmu yang sempat menhanturkan tanya. Jawaban itu dusta.

Bangkit dan Kembali Tenggelam Dalam Duka

Lebih baik, aku terus seperti ini. Berakting dan selalu bermain peran. Berpura-pura segalanya masih dalam keadaan baik. Berpura-pura tidak ada pedih yang terasa di hati. Aku mulai tenggelam dalam dunia ku. Mengambil seluruh hidupku untuk sementara waktu demi peran ini. Aku bisa berandai, semua masih indah. Aku bisa menaburkan senyum. Tidak ada sebutir air mata. Hanya mengikuti alur bahagia. Melepaskan kegundahan hati.

Tidak ada yang abadi. Keresahan mulai terbit. Mencabut seluruh kebahagiaanku. Menanam kesedihan dan menuai air mata. Bahagia ini semakin memudar. Semakin aku berpura-pura, luka itu semakin dalam. Aku harus menghadapi kenyataan. Cinta tidak berada di pihakku.

Aku kembali bersandar dalam peran. Melupakan segalanya, sekali lagi. Dan hanya berlaku dalam waktu yang sangat singkat. Beribu-ribu kali aku mencoba untuk tetap berada dalam skenario ini. Berjuta-juta kali aku mengubur diriku dengan rupa wajahnya. Aku tidak bisa memendam semuanya. Sangat melelahkan.

Semangat ku tidak pecah, masih dalam keadaan utuh. Meskipun dirimu tetap tertahan dalam pikranku, aku tetap akan bermain peran. Tidak ada yang boleh merusak cita-citaku.

Bersatu dalam peran, bersatu dalam rindu. Berusaha bangkit dan kembali tenggelam dalam kenangan, duka.

13 January, 2014

Jembatan Pelekat

Satu hal yang harus aku akui, semua telah berubah.

Tegur sapa, harus kita lakukan untuk menghindari sebuah kesalahpahaman. Aku pasti menyapa semua orang, kecuali satu, dia. Seperti sekarang ini, entah apa yang membuat kami bisa bertemu disini. Takdirkah? Kebetulankah? Entahlah. Yang penting, aku senang bisa melihat wajah manisnya itu. Aku berada tepat disampingnya. Kami tidak berbicara sepatah katapun, seperti sepasang orang yang tidak saling mengenal. Aku ingin menyapanya, tetapi aku terlalu malu untuk memulai pembicaraan. Menunggu, itu saja yang bisa kulakukan.

Aku, maksudku kami, hanya duduk bersama diatas jembatan gantung ini. Aku menggoyang-goyangkan kakiku dan memegang tali didepanku. Menunggu sepatah kata keluar dari mulut kecilnya itu.  Dia terus saja berkonsentrasi dengan kameranya. Seakan-akan disini ini hanya ada mereka berdua. Dia mengacuhkan aku, meskipun aku telah berusaha mengambil konsentrasinya. Aku seperti sampah yang tidak dibutuhkan dan diinginkan oleh siapapun.

Aku bangkit berdiri. Aku lelah menunggu dia berbicara. Kakiku berjalan selangkah dan tertahan. Ada sebuah ikatan yang melarangku pergi. Aku tetap ingin disini, bersama dirinya, meskipun dia tidak menganggapku. Tali ini sulit untuk dilepaskan. Hubungan ini terlalu sulit untuk dilupakan begitu saja.

Aku berbalik kebelakang, melihat dirinya yang masih sibuk dengan kamera kesayangannya. Mungkin dulu aku pernah menjadi sesuatu hal yang dia sayang, seperti kamera itu. Dan sekarang, aku hanyalah sebagian kisah dari hidupnya yang tidak pernah ingin dia ingat. Aku rindu dirinya. Aku rindu punggung dan bahunya. Sebuah kasur yang paling nyaman yang pernah kumiliki. Aku ingin sekali kembali berbaring diatasnya. Melepaskan segala keluh kesahku, air mataku, segalanya. Dulu, dia selalu ada untukku. Menghapus kesedihanku dan mengirim kebahagiaan kedalam hidupku.

Aku kembali mencoba berjalan menjauh. Aku menghembuskan napasku sekali lagi dengan keras. Tetap saja, kaki ini tidak ingin di gerakan lebih jauh lagi. Aku berbalik kebelakang lagi. Dia sedang mengarahkan kameranya kearahku. Aku sedikit terkejut sekaligus senang. Dia mengambil fotoku. Dia menurunkan kameranya dan melihat hasil fotonya.


"Lihat, kamu sangat cantik di dalam foto ini." Dia tidak berani menatapku. Senyum menghiasi bibirku. Akhirnya, sebuah kata keluar dari mulutnya. "Hanya difoto sajakah?" "Tidak. Kamu memang cantik. Apalagi jika senyum itu terus melekat di wajahmu. Ditambah alasan dibalik senyummu itu adalah aku, pasti kamu semakin cantik."

Senyumku semakin melebar. "Lihat. Kamu selalu saja memiiliki beribu cara untuk membuatku tersenyum. Juga cara untuk membuatku sedih."

Matanya terbelalak kearahku. "Aku tidak bermaksud sama sekali untuk membuatmu sedih, aku hanya berusaha membuatmu bahagia. Aku pikir kau sudah tidak membutuhkan aku lagi, jadi aku mencoba menjauh darimu. Maafkan aku. Aku akan mencoba membuatmu bahagia, sekali lagi."

Aku berlari kearahnya. Berbaring diatas kasur kesayanganku. Tangannya juga memelukku. Air mata sudah memenuhi mataku. Tidak akan ada yang membiarkanku melepaskannya lagi. Tali ini memang tidak akan putus. Hubungan ini, tidak akan aku biarkan lagi menjadi buruk seperti dulu. "Kamu selalu membuatku bahagia. Meskipun itu pahit, tapi aku senang, sekarang kita bisa bersama lagi." "Aku mencintaimu."

Sekarang, aku adalah sebuah sampah yang dibutuhkan oleh sekelompok orang yang sangat mencintainya. Seperti pemulung yang membutuhkan sampah untuk dapat bertahan hidup. Mungkin dia juga membutuhkanku untuk bisa bertahan hidup dan juga sebaliknya.

Aku kembali menenemukan pangeranku diatas jembatan pelekat ini. Melekatkan kembali hubungan kita berdua yang pernah terhampas.

Semua telah kembali seperti semula.

12 January, 2014

Mimpi yang Menjadi Nyata


Pikiranku sudah tidak jernih lagi. Kelakukanku sudah tidak wajar lagi. Pipiku sudah basah, mataku sudah lelah. Cahaya matahari terasa sangat menusuk kulitku. Tidak, menusuk hatiku. Aku meneduh dibawah pohon rindang ini. Duduk di ayunan dan berharap semuanya tidak memburuk.


Aku menggoyang-goyangkan ayunan tua yang tergantung diatas pohon kokoh ini. Sepasang mataku terus memberontak ingin tertutup, aku tak membiarkannya. Kantung mata sudah terbentuk dengan sempurna dibawah mataku. Tapi, setiap kali aku menutup mataku, sosok itu terus mendatangiku. Wajahnya terus berada didalam kepalaku. Aku sudah berusaha mengeluarkannya, dan selalu saja gagal. Dia terus mengganggu mimpiku. Aku tidak bisa merasakan lagi mimpi indah yang selalu kunanti-nantikan setiap malam.

Aku menggenggam seutas tali. Aku menggantungnya diatas pohon dan mengikatnya menjadi bentuk O. Aku hanya memegangnya, erat. Berusaha menghilangkan pikiran aneh itu.

Aku kembali berjalan kearah ayunan tua itu. Menggoyangkannya dan merasakan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambutku. Sekali lagi, mata ini ingin tertutup. Dia ingin tertutup dan kupikir selamanya. Aku menggeleng. Ayunan ini merusak pikiranku. Aku bangun dari ayunan dan duduk di atas rerumputan hijau. Aku tidur diatasnya.

Aku menutup mataku sekali. Saat aku membukanya seseorang tidur disampingku. Aku terkejut setengah mati. Aku pikir aku telah berada di dunia akhirat karena seorang malaikat berada di sampingku. Aku memerhatikan dengan baik, ini bukan malaikat, ini orang yang merusak segalanya dalam hidupku. Ini bukan akhirat.

Aku ingin pergi, tapi wajahnya begitu tampan. Menggodaku untuk memerhatikan wajahnya yang sedang tertidur pulas itu. Aku ingin memegangnya, dan aku menggurungkan niatku. Aku menopang daguku dan melihat wajahnya lagi. Aku kecanduan, aku tidak bisa berhenti melihat wajahnya.

Aku mendekati wajahnya. Dia bangun. Kami berdua serentak teriak, lalu tertawa bersama. Kami duduk berhadapan. Dia membuka lebar tangannya dan mengarahkannya kearahku. Aku segera memeluknya erat. Aku tidak ingin melepasnya lagi. Aku tidak ingin membiarkan dia pergi lagi.


"Jangan pernah tinggalkan aku lagi." Setetes air mata terperosot ke tanah. Dia menghapus dengan jarinya. "Jangan nangis, dasar cengeng. Aku tidak akan tinggalkan kamu lagi." Dia menggacak-acak rambutku. Aku cemberut dan membenarkan rambutku. Dia tersenyum. Aku senang bisa melihat senyuman itu lagi. Aku membaringkan kepalaku kebahunya. "Dasar manja." Aku tersenyum dan memeluknya sekali lagi. Dia mencium dahiku. "Aku mencintaimu, sekarang dan selamanya. Seumur hidupku, aku janji hanya akan mencintaimu. Cukup kamu seorang."

Buk. Auh. Aku menjerit kesakitan. Setangkai dahan pohon jatuh menimpaku dan sebercak tanda merah tertempel di dahiku. Ternyata itu mimpi. Oh, tidak. Mimpi. Dia merusak mimpiku, lagi.

Pipiku kembali menjadi sebuah air terjun. Aku sadar dia akan terus tertidur dalam pikiranku dan hanya akan berada dimimpiku, bukan dihidupku. Dia sudah berada didalam pelukan wanita lain yang tidak akan pernah melepasnya.

Aku mendongakkan kepalaku keatas. Seutas tali itu menggodaku. Aku berjalan kearahnya. Air mata terus menggalir dengan deras. Memori itu terus berputar didalam otakku. Wajah itu terus terbayang dalam pikiranku. Cinta ini terus terbit dalam hatiku.

Mata ini ingin menutup lagi. Aku akan membuatnya tertutup selamanya. Kedua tanganku meraih tali itu, berusaha memasukan kepalaku kedalammya. Aku teriak. Pikiran ini tidak jernih. Tidak, aku tidak bisa. Tanganku meremas kepalaku. Aku berjalan mundur. Aku teriak sekali lagi. Air mata ini terus terjatuh.


Aku berlari masuk kerumahku. Masuk kedalam kamar mandi dan menyalakan shower. Aku terus menangis didalam kamar mandi. Aku terus menghujani pikiranku dengan gambaran wajahnya. Badanku sudah merasakan getaran hebat. Aku tetap ingin disini, tidak ingin keluar. Aku takut, aku takut aku akan terus seperti ini. Pandanganku sudah mulai kabur.

Dengan sempoyongan, aku berjalan masuk kearah hutan. Aku memegang satu persatu pohon, aku tidak ingin terjatuh. Tidak akan ada yang tahu aku disini. Tidak akan ada yang mencariku. Tidak akan ada yang menangisiku. Sebentar lagi, aku yakin, mata ini tidak akan pernah terbuka lagi. Kepahitan ini akan lenyap. Perlahan, mata ini tertutup, sedikit demi sedikit, tapi pasti. Aku terhempas ke tanah. Didalam mimpi itu, aku yakin, aku akan terus bersama dirinya.

Aku membuka mataku. Dia sudah berada disampingku lagi. Ini awal dari mimpiku. Berarti, aku sudah mati. Dia menggenggam erat tanganku. Aku hanya tersenyum dan berusaha duduk. Dia tidak membiarkanku duduk. "Berbaringlah, jangan duduk."

Aku berusaha bicara dan dia menggarahkan jarinya ke bibirku. "Kamu masih sakit. Jangan banyak bicara. Istirahatlah. Aku akan merawatmu." Aku merasa lemas, dan aku tak berusaha menolak.

Apakah ini mimpi? Kurasa dia bisa membaca pikiranku. "Bukan. Ini nyata. Aku khawatir dengan keadaanmu. Aku kerumahmu dan melihatmu berjalan kearah hutan dan aku mengikutimu. Kamu pingsan dan aku langsung mengobatimu, aku tidak bisa melihatmu terus seperti ini. Aku tidak bisa melihat seorang yang aku cintai menderita karena aku. Aku masih mencintaimu. Aku tidak pernah jatuh cinta kepada wanita lain. Itu hanya sebuah kesalahpahaman. Aku ingin menjelaskannya kepadamu, tapi kau terus saja menolak."

Aku tersenyum. Harus kuakui, aku senang itu hanya salah paham. Aku juga masih mencintaimu. Aku tidak bisa menjawab, mulutku tidak ingin di buka. "Mungkin kamu sudah tidak peduli lagi denganku. Tapi aku janji, seumur hidupku, orang yang aku lindungin itu kamu." Dia mencium dahiku. Senyumku menggembang begitu lebar.

Inikah mimpi yang menjadi nyata?

11 January, 2014

Lautan Kenangan

Dibalik ruangan ini, aku bersembunyi di tengah keramaian. Aku benci keramaian. Aku lebih suka berada sendiri dikamar dibawah naungan AC. Aku "dipaksa" kedua orang tuaku untuk datang kepesta ini. Menyebalkan.

Kupikir, aku sudah cukup terlalu lama berada disini. Dengan menguatkan batinku, dengan menahan segala emosiku, perlahan aku keluar dari toilet. Selangkah keluar dan hiruk pikuk keramaian itu sudah datang lagi.

Raut wajah bahagia bertebaran dimana-mana, dan raut wajahku aku paksakan untuk bahagia juga. Aku masih berusaha untuk tidak mengingat nama, wajah, dan senyuman itu.

Aku tidak ingin berjalan lagi. Aku tidak sanggup. Aku tidak kuat. Aku bersender ditiang ini. Orang-orang yang berlalu-lalang membawa makanan. Makanan itu dilahap sampai habis. Makanan disini tidak membuatku tertarik. Bukan karena tidak enak, napsu makanku sudah hilang sejak dulu. Aku iri melihat mereka bisa makan selahap itu. Semenjak mendengar berita ini, aku sudah tidak pernah makan dengan lancar. Mulutku serasa terkunci untuk dimasuki makanan. Bahkan, hari ini aku hanya makan siang saja. Sampai sekarang, perut ini masih belum meminta makan sesuappun.

Ingatanku terbawa saat aku melihat sepasang kekasih duduk disana. Mereka makan bersama dan saling menyuapi. Aku tersenyum kecil melihat kelakuan mereka berdua. Airmata tergelincir dipipiku tanpa sengaja. Aku menghapus secepatnya.

Kekasih itu sukses meramaikan pikiranku dengan wajahnya. Inilah yang menyebabkan aku benci keramaian. Aku menutup mataku dengan keras dan membukanya lagi. Berulang-ulang aku lakukan itu. Berharap pikiran itu hilang.

Mataku membesar ketika melihat mereka. Mereka yang membuat hidupku hancur. Aku berpura-pura berjalan kearah lain untuk mengambil minuman. Aku meminum seteguk. Aku melihat kearah mereka lagi memastikan keadaan aman. Mereka berdua berjalan kearahku. Aku memalingkan wajahku. Mereka membawa sekeranjang souvenir dan sekelompok kru-kru yang sedang merekam kebahagiaan mereka sekarang. Aku menahan air mata yang sudah membasahi mataku. Dengan berbalut jas hitam mengkilap dan gaun putih yang menawan, mereka tersenyum kepadaku. Mereka mendekatiku. Aku mencoba mengeluarkan senyum terindahku. Aku tidak ingin dia melihat pedih dihatiku ini.

"Selamat menempuh hidup baru ya!" Tidak, jangan.
Aku menggulurkan tanganku dengan lemas.

"Iya, terima kasih."
Mereka menggulurkan tangan mereka juga. Saat aku bersalaman dengannya, kehangatan itu tidak menjalar lagi. Aku sedikit kecewa. Mungkin karena dia mengenakan sepasang sarung tangan putih. Aku masih berusaha memancarkan senyumanku.


Dia menyondorkan sebuah souvenir. Aku terkejut sedih bercampur senang. Sebuah boneka kecil yang tidak asing lagi dimataku. Boneka itu adalah boneka idamanku. Dulu, dia berjanji akan membelikannya untukku. Memang dia menepati janjinya, tapi disaat aku tidak ingin mengumbar janji itu lagi. Aku tidak ingin boneka ini. Aku hanya ingin dirinya.

"Terima kasih." Jangan boneka ini. Ini akan membuatku semakin jatuh kedalam cintamu.

Dia pergi menjauhi ku. Tidak jangan pergi. Dia pergi secepat dia meninggalkanku demi perempuan yang sekarang bersatu dengan hidupnya. Dia menaiki panggung mewah itu dan menggambil gitar. Dia menyanyikan sebuah lagu istimewa untuk istrinya. Mataku hanya menatap dirinya, tak ingin berkedip. Membayangkan jika lagu itu dibuat untukku. Membayangkan jika yang duduk dimimbar itu aku.

"Not sure if you know this, but when we first met..."

Dia mulai bernyanyi. Aku hanya menutup mataku. Membayangkan segala hal yang tidak akan pernah terjadi. Alunan nada ini terus mengerugutiku. Aku bisa merasakan ketulusan cinta dia kepada wanita cantik itu, bukan aku.


Dia berjalan kearah wanita itu dan mengajaknya menari bersama. Baiklah, aku ingin pulang. Aku tidak ingin berlama-lama dipesta ini. Ini bukan pesta, ini lautan kenangan. Sebentar lagi aku yakin aku akan tenggelam dan mati jika terus berada disini. Benteng pertahanan air mata ku pecah. Air mataku keluar lagi. Aku melepas high-heels ku, semoga saja aku juga bisa melepas kenangan itu. Aku membawa high-heels dan berlari keluar dari ruangan ini. Aku tidak peduli mata-mata yang tertuju padaku. Aku tidak peduli make-up ku yang luntur. Aku tidak bisa melihat mereka bahagia bersama dalam suatu ikatan yang suci.

Aku berhenti disebuah tempat yang membuat air mata ini tertunda untuk mengalir. Disini aku bisa melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Aku melepas high-heels ku dan mengarahkan tanganku keatas. Ingin ku petik bintang itu untuk menyinari hatiku yang sekarang menjadi kelam. Aku menutup mataku. Membayangkan lagi jika dia berada disampingku.

Aku tidak boleh menangisi orang yang tidak pantas aku tangisi.

08 January, 2014

Detik Terakhir


Lurus, naik, turun, naik, turun, naik, turun, lurus.

Belajar menanam itu menyenangkan ya, apalagi bersama dia. Kami belajar bercocok tanam bersama. Dia menumbuhkan sepasang sayap dipunggungku dan begitu juga denganku. Dia hebat. Dia bisa terbang dengan sempurna dalam waktu yang singkat. Aku payah. Aku belum bisa mengepakan sayapku dengan baik.
Aku mencoba dan mencoba terbang sekali lagi. Dia terus memegangiku. Aku bisa melihat kekhawatiran diwajahnya begitu melihat aku hampir terjatuh. Aku juga bisa melihat semangatnya yang berkobar-kobar saat mengajariku terbang. Berkat dia, akupun bisa terbang sendiri. Aku bisa menikmati keindahan sayap yang dia tumbuhkan ini.

Dia membawaku terbang kedalam dunia yang seindah surga. Burung-burung bernyanyi dengan merdunya dan sang raja siang memancarkan sinarnya dengan gembira. Aku melayang di angkasa dengan bebas. Kami dapat melewati setiap awan kabut dengan lincah. Aku ingin terus berada disini. Aku ingin terus bersama dirinya.
Aku merasakan ada yang menggenggam tanganku dengan lemas.  Ada seseorang di sampingku. Tapi siapa? Kekhawatiran menjalar ke tubuhku.


Aku terbang kesana-kemari dengan riang. Dari arah utara, muncul batang hidungnya. Dia membawa sebatang golok menakutkan yang sangat panjang. Dia mengarahkan golok itu kearahku. Aku hanya bisa terdiam melihat dia menepas sayapku.

Aku merasakan tetesan air di tanganku. Sebuah kecupan menempel. Siapa sebenarnya yang berada disini? Disini gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa. Sayang! Jika itu kamu tolong keluarkan aku dari sini. Aku takut. 

Aku mencoba meraih tangannya namun gagal. Aku terjatuh kedalam lautan yang amat sangat dingin. Sekejap, aku tidak bisa menggerakan anggota tubuhku. Kaku. Tak bisa bernafas. Terlelap. Tak bisa merasakan apapun lagi. Matakupun perlahan-lahan tertutup rapat.

Dia menangis disampingku. Aku mendegar pernyesalan yang amat dalam dari ucapan bibirnya. Sayang! Sayang! Sayang! Apa itu kamu? Jangan menangis.

Seandainya aku boleh membuka mata ini, akan kuusap air mata itu. Akanku tenangkan hatinya. Aku tidak ingin dia menangisiku. Sayang, tolong jangan sedih. Meskipun aku tidak bisa kembali kedalam dunia ini aku akan terus mencintaimu. Carilah penggantiku. Yang lebih baik.

Garis lurus tertera dalam mesin itu.


07 January, 2014

Balloon


Aku terus memegang balon ini. Tak ingin pecah, aku jaga balon ini dengan sebaik mungkin. Setitik debupun tidak aku biarkan mengotori balon ini. Semakin hari, balon ini menjadi semakin kecil. Aku takut cinta itu juga menjadi semakin kecil. Ku coba meniup balon itu agar menjadi besar kembali. Ku tiup dengan sangat hati-hati. Dan berhasil, balon ini utuh seperti semula.


Aku tidak membiarkan kau datang mendekat. Aku tak ingin kau memecahkan balonku dengan jarum licikmu itu. Kau pun mencoba meniruku. Kau bentuk sebuah balon yang lebih besar dariku. Aku tidak akan membuatmu mengalahkan aku. Bimbang, akhirnya aku mencoba meniupnya kembali. Ku tiup sekeras mungkin agar balonku menjadi lebih besar. Aku tidak ingin kalah. Dan yang kudapatkan hanyalah serpihan balon, pecah.

Aku melangkah terlalu jauh. Akhirnya, segala resiko datang selalu menghampiriku. Ingin rasanya aku menarik kembali udara yang telah aku keluarkan. Penyesalan, selalu datang terlambat.

Aku menunduk, malu. Melihat balon besar yang ada di tangan perempuan itu. Balon tiruannya, yang pernah ku miliki, sekarang berada digenggaman tangannya.

Diibaratkan balon itu adalah sebuah hubungan cinta. Jika kita terlalu membebaskannya, hubungan itu tidak akan berhasil. Sebaliknya. Jika kita terlalu memaksanya, hubungan itu hanya akan berakhir percuma.

Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Asalkan kalian tetap saling berbicara dan mendengarkan. Dan jangan lupa, buka pintu maaf di hati kalian lebar-lebar. Semua pasti akan berakhir indah.