13 January, 2014

Jembatan Pelekat

Satu hal yang harus aku akui, semua telah berubah.

Tegur sapa, harus kita lakukan untuk menghindari sebuah kesalahpahaman. Aku pasti menyapa semua orang, kecuali satu, dia. Seperti sekarang ini, entah apa yang membuat kami bisa bertemu disini. Takdirkah? Kebetulankah? Entahlah. Yang penting, aku senang bisa melihat wajah manisnya itu. Aku berada tepat disampingnya. Kami tidak berbicara sepatah katapun, seperti sepasang orang yang tidak saling mengenal. Aku ingin menyapanya, tetapi aku terlalu malu untuk memulai pembicaraan. Menunggu, itu saja yang bisa kulakukan.

Aku, maksudku kami, hanya duduk bersama diatas jembatan gantung ini. Aku menggoyang-goyangkan kakiku dan memegang tali didepanku. Menunggu sepatah kata keluar dari mulut kecilnya itu.  Dia terus saja berkonsentrasi dengan kameranya. Seakan-akan disini ini hanya ada mereka berdua. Dia mengacuhkan aku, meskipun aku telah berusaha mengambil konsentrasinya. Aku seperti sampah yang tidak dibutuhkan dan diinginkan oleh siapapun.

Aku bangkit berdiri. Aku lelah menunggu dia berbicara. Kakiku berjalan selangkah dan tertahan. Ada sebuah ikatan yang melarangku pergi. Aku tetap ingin disini, bersama dirinya, meskipun dia tidak menganggapku. Tali ini sulit untuk dilepaskan. Hubungan ini terlalu sulit untuk dilupakan begitu saja.

Aku berbalik kebelakang, melihat dirinya yang masih sibuk dengan kamera kesayangannya. Mungkin dulu aku pernah menjadi sesuatu hal yang dia sayang, seperti kamera itu. Dan sekarang, aku hanyalah sebagian kisah dari hidupnya yang tidak pernah ingin dia ingat. Aku rindu dirinya. Aku rindu punggung dan bahunya. Sebuah kasur yang paling nyaman yang pernah kumiliki. Aku ingin sekali kembali berbaring diatasnya. Melepaskan segala keluh kesahku, air mataku, segalanya. Dulu, dia selalu ada untukku. Menghapus kesedihanku dan mengirim kebahagiaan kedalam hidupku.

Aku kembali mencoba berjalan menjauh. Aku menghembuskan napasku sekali lagi dengan keras. Tetap saja, kaki ini tidak ingin di gerakan lebih jauh lagi. Aku berbalik kebelakang lagi. Dia sedang mengarahkan kameranya kearahku. Aku sedikit terkejut sekaligus senang. Dia mengambil fotoku. Dia menurunkan kameranya dan melihat hasil fotonya.


"Lihat, kamu sangat cantik di dalam foto ini." Dia tidak berani menatapku. Senyum menghiasi bibirku. Akhirnya, sebuah kata keluar dari mulutnya. "Hanya difoto sajakah?" "Tidak. Kamu memang cantik. Apalagi jika senyum itu terus melekat di wajahmu. Ditambah alasan dibalik senyummu itu adalah aku, pasti kamu semakin cantik."

Senyumku semakin melebar. "Lihat. Kamu selalu saja memiiliki beribu cara untuk membuatku tersenyum. Juga cara untuk membuatku sedih."

Matanya terbelalak kearahku. "Aku tidak bermaksud sama sekali untuk membuatmu sedih, aku hanya berusaha membuatmu bahagia. Aku pikir kau sudah tidak membutuhkan aku lagi, jadi aku mencoba menjauh darimu. Maafkan aku. Aku akan mencoba membuatmu bahagia, sekali lagi."

Aku berlari kearahnya. Berbaring diatas kasur kesayanganku. Tangannya juga memelukku. Air mata sudah memenuhi mataku. Tidak akan ada yang membiarkanku melepaskannya lagi. Tali ini memang tidak akan putus. Hubungan ini, tidak akan aku biarkan lagi menjadi buruk seperti dulu. "Kamu selalu membuatku bahagia. Meskipun itu pahit, tapi aku senang, sekarang kita bisa bersama lagi." "Aku mencintaimu."

Sekarang, aku adalah sebuah sampah yang dibutuhkan oleh sekelompok orang yang sangat mencintainya. Seperti pemulung yang membutuhkan sampah untuk dapat bertahan hidup. Mungkin dia juga membutuhkanku untuk bisa bertahan hidup dan juga sebaliknya.

Aku kembali menenemukan pangeranku diatas jembatan pelekat ini. Melekatkan kembali hubungan kita berdua yang pernah terhampas.

Semua telah kembali seperti semula.

No comments:

Post a Comment