09 October, 2016

Perdebatan Kecil


"Seringkali ku ingatkan padamu, jangan pernah melihat kembali hal-hal itu, tapi sesering itu pula dirimu terus berusaha untuk mengabaikan perkataanku."

   "Apa yang salah dari itu? Toh, aku hanya ingin melihat. Tidak lebih."

"Aku tak pernah yakin dirimu hanya sekadar melihat. Karena justru dari melihat itulah dirimu akhirnya terus-menerus tersakiti."

   "Memangnya apa pedulimu bila aku tersakiti? Bukankah kau bahagia melihat diriku menderita? Yang terus menangis entah kapan akan berhenti?"

"Hei, aku tak pernah berkata demikian. Jangan kau mengada-ada. Aku takkan bahagia melihatmu terus seperti ini. Justru aku peduli denganmu, hingga aku berani untuk menegurmu berkali-kali mesti kau kian mengabaikannya."

   "Huh, apa memang demikian rasanya? Dirimu memperoleh hal yang begitu kau idamkan, namun pada akhirnya hal itu harus kau buang jauh-jauh. Malah, itulah yang akhirnya membuat diriku tak lagi bahagia. Hanya bisa membuatku begitu teriris-iris hendak bunuh diri."

   "AKU SUDAH BERULANG KALI KATAKAN KEPADAMU. JANGAN PERNAH BERKATA DEMIKIAN!"

"Maafkan aku. Sulit sekali untuk mengontrol diri yang sedang bersedih."

   "Apa memang dirimu benar-benar masih bersedih?"

"Ya. Tidak. Entahlah.
Sulit sekali untuk mendeskripsikan perasaanku sekarang ini. Aku sudah melepaskan segalanya. Aku sudah membuang perasaan itu jauh-jauh. Tapi, entahlah, aku tidak mengerti apa yang harus kuperbuat atau apa yang sedang kurasakan. Rasa-rasanya aku masih sulit untuk melupakan."

   "Aku ingin sekali memelukmu, sobat. Tapi, maaf, aku tahu diri. Aku berharap kamu bisa terus melangkah maju, tak lagi bersedih melihat serpihan-serpihan masa lalumu itu. Aku berharap kamu bisa memikirkan dirimu sendiri, dan berhenti untuk memikirkannya."

"Bagaimana mungkin?"

   "Mungkin. Kau hanya butuh waktu. Waktu yang entah berapa panjang, hingga kau benar-benar tak lagi bersedih. Malah kau akan tersenyum bahagia karena hal itu pernah terjadi."

"Tapi..."

   "Sudahlah, jangan banyak tapi-tapi. Cukup dengar dan laksanakan apa yang sudah kukatakan. Apa susahnya mendengar nasehatku?"

"Kau belum pernah merasakannya."

   "JADI KAU MASIH TIDAK INGIN MENDENGARKANKU?!"

Dan begitulah, perdebatan kecil antara hati dan logika. Yang takkan pernah berhenti dan terus berulang, bahkan sampai beratus-ratus hari kemudian.
"Aku tahu betapa sesaknya rasa sakit itu. Setiap helaan napas, setiap detik, laksana ada beban yang menindih hati. Tangisan membuatnya semakin perih. Ingatan terus kembali, kembali, dan kembali. Kau tidak berdaya mengusirnya, bukan?"
-Tere Liye, dalam novel Hujan.
 
8 Oktober 2016
Stefani