23 February, 2014

Sudahkah?

Tidak ada pilihan lain. Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Ini demi kita, demi otak, juga hati yang kian merintih menyebut-nyebut namamu.

Aku tak lekas menanggapi mereka. Hasil pantauanku selama ini akhirnya menghasilkan sebuah keadaan yang sungguh sangat menghancurkan. Kau masih tertunduk disana. Keadaanmu parah.

Seutas keinginan mengikatku untuk memeluknya dan meyakinkan dirinya, semua berjalan lancar. Kenyataan, rantai masih menjerat kaki dan melarangnya melangkah. Satu saja dan kau tak akan selamat.

22 February, 2014

Berhenti Berangan


Ucapan janji sudah ku lontarkan untuk tidak lagi berangan tentang dirimu. Volume kepahitan sudah di ambang batas. Volume rasa manis sudah langka. Sebersit cahaya membuka pikiranku untuk menatap ke depan.

Sosok wajahmu yang kerap menghantui sekarang telah sirna. Aku tidak tahu mengapa. Yang terpenting, ini berita yang baik.

Kebahagiaan tentu akan di miliki oleh siapa saja. Oleh sebab itu, sebuah konsep telah mengkristal di dalam hatiku. Sebuah pemikiran yang logis mencabut dan mengangkut semua angan yang bertaburan.

19 February, 2014

Penerimaan


Aku bukan boneka, kau tahu itu. Aku rapuh dan mudah kritis, kau juga tahu itu. Lalu, kenapa kau mendatangkan pasukan keris untuk menghantamku? Sebesar itukah kesalahan yang telah ku perbuat? Dendamkah kau kepadaku? Jangan, tolong.

Pertahananku tidak sekuat yang kau kira. Aku pun hanya bisa melepaskan panah cinta sebagai pembalasan. Di tengah kelengahanku, kau menambah aksi. Mencengkram kuat amarah dan menembakkan murka yang amat sangat banyak. Semuanya roboh juga hancur berkeping-keping. Kenangan menyerbu, menyelusuk ke dalam pikiran.

Tetesan air hujan dan kristal dari mata membaur. Kau hanya terpatung di ujung persimpangan. Kepahitan kian mendekap diriku. Luka dan bisa melekat erat di tubuh. Kau terbujur kaku, berbagai kalimat sepertinya telah merenggut belas kasihanmu. Kau melangkah mendekat. Perlahan, akhirnya berlari menjauh.


Aku berusaha bangkit dan mengais sisa-sia senyuman dan tawa. Menyingkirkan seluruh keris-keris kotor yang kau hadiahkan untukku. Mataku masih normal, aku mampu melihat dirimu yang mengintai disana, "hendak apa kau?" Kau melenyapkan rupamu di balik kabut.

Tumpukkan kapsul yang pahit itu memenuhi jalan. Sedang tawa, hanya segelintir yang terkumpul. Prajuritmu menyerbu ingin menculik semua bahagia yang ada. Kami bergulat terus tak ingin kalah. Takkan ku biarkan mereka yang terus bersikeras ini membawanya kabur. Namun, apa daya. Mereka berjumlah banyak. Aku mengejar dan hanya letih yang mengepung.

Lantas, aku kembali ke singgasana yang sudah hancur lebur. Belum puaskah penyiksaan ini? Aku bahkan lupa cara mngeja tawa. Sedih, pilu, kelam berpadu menjadi sebuah kesuraman yang paling berjasa dalam memahat tangis.

Dengan seluruh tenaga yang ada, aku berkeliaran memunggut benih-benih cinta yang berhamburan. Bukan benih cinta yang terkumpul, setangkai mawar putih. Tunggu, mawar putih? Siapa yang memberi?

Headline News


allaboutmycreations.blogspot.com (2014/02) Kota Cinta kembali di hebohkan dengan berita pencurian yang terjadi tepat pukul 19.00 WIB kemarin sore. Sekotak kasih sayang telah di bawa kabur. Dugaan sementara dari pihak polisi, tersangkanya adalah sang kebencian. Polisi sudah berupaya menangkapnya, namun gagal. Mereka masih mencari jejak-jejak persembunyiannya.


"Saya sudah merawatnya dengan baik selama bertahun-tahun. Itu merupakan satu-satunya harta peninggalan dari mantan kekasih saya. Saya baru saja meletakkan di luar hati untuk beberapa detik dan sekejap sudah di curi entah oleh siapa," ujar sang pemilik.

18 February, 2014

Hanya Rindu

Berbagai kesibukan terus-menerus mengusik waktuku. Tak sempat lagi menuangkan isi hati di dalam tulisan. Mungkin tindakanku terpusat pada tugas, dan pikiranku masih mengarah pada dirinya. Awalnya aku cukup senang, bisa meluapkan seluruh kenangan akan dia. Tapi ditengah-tengah itu, memori kembali menghantui.

Lampu remang-remang menyinari secarik kertas usang yang terbaring lemas di atas meja. Godaan berbondong-bondong merasuki otakku. Dan akhirnya, aku membaca seluruh kata yang melekat di sana.



Itu cerita indah yang sudah terasingkan. Benarkah? Aku bahkan lupa seluruh keceriaan yang pernah menghiasi hidupku. Aku juga lupa kapan aku pernah menulis itu semua. Tak berharga sedikit pun. Satu kepedihan meracuni seluruh senyuman yang ada. Hampa tanpa tawa.

Aku kembali di kerumuni akan sayup-sayup wajahnya. Hanya ini yang tidak bisa di hilangkan. Kurasa waktu untuk berpindah singgasana cinta berjalan laksana siput. Perlahan tapi pasti. Bukan sekarang, hari ini, atau besok, tapi suatu saat nanti. Siput masih berusaha berlari dari kejaran bayangmu. Dan, masih saja tertangkap. Sungguh sangat kelam.

Air mata sudah lelah untuk menetes. Tawa sudah lama lenyap. Lalu, tak ada rasa apapun yang bertahan. Hanya rindu. Rindu yang terus mencurah.




Ku putuskan hubungan listrik dengan lampunya. Tidak ada hubungan yang berlangsung abadi. Cahaya melarikan diri dan kegelapan mengisi penuh ruangan. Akhirnya, aku menjatuhkan badanku ke atas ranjang. Mencoba menutup mata, ku harap selamanya.

Untuk hidupku yang kosong tanpa cinta darimu. Bertahanlah.

13 February, 2014

Hadiah Terindah

Satu, dua, tiga, empat. Empat hari lagi. Telunjukku mengarah pada angka empat belas yang tertera di kalender.  Sebuah hati merah yang ku lekatkan di samping angka itu mampu mengingatkanku akan hari kasih sayang. Seketika,  sosok wajahnya yang cantik jelita memenuhi ruang pikiranku. Suara merdunya yang memanggil-manggil namaku terasa. Senyuman terulas dari bibir dan langsung terenyahkan karena kejadian hari ini.

Aku gagal menjumpai dirinya. Dia tak bisa ditemukan dimana pun. Semoga saja rencana gilaku tidak akan berakhir seperti itu juga. Misi ini akan berjalan lancar. Aku memasukan pikiran positif ke dalam otakku. Sekarang  waktunya untuk bertemu dengannya di alam mimpi.

***

Dirinya sedang menyantap makan siang seorang diri. Inilah saatnya untuk memulai aksiku. Selangkah baru terlewat dan segerombolan lelaki sudah mengerumuninya. Gagal lagi. Aku mengurungkan niatku dan mencoba membuang jauh-jauh ide tadi.

Mendadak, dia bangkit dari kursinya. Mengeluarkan diri dari kurungan itu. Lalu melesat ke arah taman. Baiklah, ini waktu yang paling tepat. Niat itu kembali mendatangiku. Saatnya beraksi.

“Sendirian aja?” Tanyaku memulai pembicaraan. Dia berbalik ke belakang dan menyaksikan diriku yang sedang membawa sebuah gitar. “Iya.” Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Lagu ini aku persembahkan untuk seseorang yang berhasil merebut hatiku.” Sebuah lengkungan terpancar dari bibirnya saat dentingan lagu mengalir.


Aku bisa melihat kristal garam yang membasahi matanya. Belum mengalir. Sesedih itukah laguku hingga dia menangis?

Lagu berakhir, dia bertepuk tangan. “Indah,”  dia tersenyum lalu meletakkan kepala mungilnya di atas bahuku. Jantung berdebar begitu kencang. Ragu, namun akhirnya aku mengusap rambut halusnya. Selangkah lagi, aku akan berhasil. “Terima kasih.” Air matanya meluncur dengan deras. Kurasa ada beban yang sedang dia hadapi. “Kenapa?” Dia terdiam, masih membaringkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Hanya lagumu sangat menyentuh. Tolong mainkan sekali lagi.”

Petikan lagu terdengar kembali. Mengisi taman luas dan kedua hati kecil kami. “Semua akan berakhir bahagia.” Aku meyakinkan diri.

Perjumpaan Dulu

"Kusuka dirinya mungkin aku sayang. Namun apakah mungkin kau menjadi milikku? Kau pernah menjadi, menjadi milikknya. Namun salahkah aku bila ku pendam rasa ini?"

Lagu ini tak pernah henti-hentinya meneriakkan masa lalu ke benakku. Memutarkan memori pertama kali kita bertemu. Ingatkah? Di tengah keramaian dan di tengah keasingan, ada cinta di antara kita. Mata kita bertemu dan hati kita bersatu. Perjumpaan yang sungguh tak ternilai, tak terlupakan, juga tak teringinkan.

Kamu dan aku mejadi kita. Kita yang dulu kembali menjadi terpecahkan menjadi kamu dan aku. Berpisah. Lalu berhentilah seluruh harapan dan perjuangan. Menyisahkan air mata dan kenangan.


"Mungkinkah kau merasakan semua yang ku pasrahkan? Kenanglah kasih."

Perasaan ini masih terpelosok di relung hatiku. Ingin rasanya aku mengembalikkan dirimu ke dalam dekapanku. Melepaskan jeratan rindu dan menerbangkan kesedihan. Namun, kenyataan menarikku keluar dari dalam khayalan.


Masa lalu itu hanyalah masa lalu. Cukup untuk di kenang dan diratapi. Ya, aku tahu cintamu bukanlah aku. Aku tahu kamu bukan untukku. Dan ini memanglah kenyataan yang harus bisa ku terima.

Pertemuan itu hanyalah awal dari pertemanan atau mungkin permusuhan. Rekaman bersamamu akan ku kenang selamanya. Rasa ini yang dulu ada tertuju padamu ku kubur sedalam-dalamnya.

Untuk seseorang dengan baju abu-abunya.


Sampai Jumpa


Saat segalanya masih bahagia. Saat aku menganggap cinta itu indah. Kesalahan terberat yang harus ku tanggung. Bukan karena kamu, tapi karena aku yang terus memuja. Karena kita yang menuliskan sejuta rasa dalam lembaran kenangan.

Perlu perjuangan dan energi yang tidak sedikit. Penuh tangis dan peluh. Cukup di sayangkan, hanya seonggok harapan yang ku dapat. Bukan cinta yang kusebut-sebut dulu.

Menjelang bulan yang kelima, cinta itu sudah berangsur-angsur menghilang. Sayup-sayup wajahmu sudah memudar dari mimpi.  Meski namamu terkadang menyelusup ke pangkal pita suara, musim sendu sudah hampir mencanpai waktunya.

12 February, 2014

Mencari? N.I.H.I.L


Berlayar sudah menjadi mata pencaharianku selama ini. Angin sudah menjadi sahabat yang setia menemani. Meniupkan gumpalan asap dan menjalankan kapal yang ku rakit. Air sudah menjadi penenangku sedari dulu. Sekarang ia adalah dokter yang bisa menawarkan semua rasa sakit. Meski hanya untuk kurun waktu yang singkat. Tak lupa, kompas. Perkakas penting untuk menentukan arah. Di dalamnya sudah tercatat sedemikian rupa syarat. Hanya tinggal menemukannya.

Misi itulah yang terus memaksaku mencari. Menginginkan benda berkilau yang berada dalam peti. Bisa di sebut harta. Tapi, lebih dari itu, cinta.

Tiga tahun, dua bulan lebih enam belas hari sudah ku korbankan demi perjalanan panjang dan melelahkan ini. Seluruh persediaan makanan hampir mencapai kosong. Tak banyak yang tersisa. Waktu sudah banyak terbuang percuma dan aku belum menemukan apapun.

10 February, 2014

Ibu

Lantunan musik ini membawaku kembali ke masa dimana umurku masih benih.

***


Kedua tulang kakiku masih belum siap untuk menahan badan. Butuh bantuan sentuhan kulit ibu. Peluhnya bercucuran hingga mengenai kulit lembut yang membungkusku. Masih putih bersih, tidak seperti ibu yang sudah kehilangan kelembutannya. Demi bekerja, mengusir debu, mencuci setiap helai baju, menghidangkan makanan, dan tidak bisa ku sebut satu-satu.

Tengah malam, ia sering kabur dari mimpi dan kembali ke dunia fana. Menengok seorang bidadari kecilnya yang sedang masuk ke dalam lelap. Segala keluh kesahnya seperti melayang, merangkak pergi, saat kelopak matanya menangkap sosok buah hati.

***
Sabtu pagi selalu ku habiskan dengan berpergian bersama sahabat. Aku pergi bermain dengan teman sebayaku dan meninggalkan ibu sendirian di rumah. Aku tahu itu tidaklah berprikemnusiaan. Namun, aku tak peduli, yang terpenting aku bisa bermain sepuasnya. Menghabiskan waktu bersama teman lebih menyenangkan ketimbang dengan ibu.

Dulu mungkin sampai sekarang, aku adalah penawar kegelisahannya. Sekarang, ibu adalah bibit kegelisahanku. Ia tak mengerti arti dari anak jaman sekarang.

Telepon genggam jarang sekali mengalami masa sunyi. Dentingan keras pasti menemani kemana pun aku pergi. Seperti sekarang ini. Ibu. Tertera wajah manisnya dengan senyuman di layar. Bosan menerima celotehan dan beribu pesan yang dia hanturkan. Tadi, dia sudah menelepon berpuluh-puluh kali. Mengusik kesenangan ku saja. Tombol merah pilihan terakhir.

Pesan masuk, terpaksa aku membukanya. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati pesan bahwa ibu telah pulang ke atas sana. Setetes demi setetes air mata berlomba-lomba membasahi pipi.

***
Cinta ini masih tertuju pada ibu. Kegelisahan bisa saja datang mengadu domba cinta kita. Yang terpenting, ibu dan anak tidak dapat di pisahkan. Apa yang sudah di persatukan secara abadi, tidak akan pernah bisa memaksakan dirinya untuk mengubahnya.

Aku masih bertapa dalam ruang tidurku. Menikmati lantunan musik yang dulu selalu keluar dari telepon genggam. Sekarang, tidak ada nama yang tercantum lagi. Tak ada lagi wajah ataupun senyuman yang muncul bersamaan dengan alunan melodi ini.
Hanya ibu yang sudah menikmati keindahan surga dan diriku yang masih terperangkap dalam dunia fana.

Kristal menetes dari mata. Ibu, aku merindukanmu. Maafkan aku.



09 February, 2014

Selalu Sayang Ibu dan Ayah

Seperti biasa, pukul empat pagi aku sudah bangun untuk bersenam pagi bersama orang tuaku. Dari kecil orang tuaku selalu mengajariku untuk hidup sehat. Aku langsung membereskan tempat tidurku dan bergegas mandi.
                Ibuku berteriak dari bawah, “Riana, cepetan mandinya, ibu dan ayah sudah siap untuk senam”.
                Aku segera mempercepat mandiku, memakai kaos, dan bergegas turun. Kami segera memulai senam pagi. Senam dapat membuat kami selalu sehat.
                Serelah sarapan pagi, aku berpamitan kepada orang tuaku untuk berangkat ke sekolah. Aku bersepeda kesana.
                “Selamat pagi, Riana,” kata Santi sahabat karibku.
                “Selamat pagi juga,” kataku.
                Kami berdua segera masuk ke dalam kelas. Di sana ternyata beberapa orang temanku sudah datang.
                Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Aku segera masuk dan bersiap untuk mendengarkan penjelasan dari guru. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Bel tanda pulang sudah berbunyi. Aku pulang bersama teman-temanku.
                Sampai di rumah, aku menaruh sepedaku. Aku berteriak,”Ibu, ayah, aku pulang”.
                “Iya, iya” jawab ayah dan ibu.
                “Ibu, ayah,kenapa banyak koper di sini?” tanyaku.
                Dengan wajah sedih sambil mengelus kepalaku ibu menjawab, “Na, maafkan kami. Ibu dan ayah dipindahkan kerja di Singapura. Kami akan kembali setahun lagi.”
                “Ha…? Lama sekali, jadi aku di tinggal sendirian di sini? Aku tidak mau,” kataku.
                Ayahku menjawab dengan tenang, “Na, kamu akan di asuh oleh teman ayah, Tante Flora. Dia baik kok. Segera bereskan barang-barangmu ya. Ayah akan mengantarmu kerumah Tante Flora. Selama Ibu dan Ayah pergi kamu akan di antar Tante Flora ke sekolah.”
                “Tidak mau!” Aku berteriak meluapkan kekesalanku. Aku segera berlari menuju kamarku dan terpaksa membereskan baju-baju dan barangku lainnya. Setelah selesai aku langsung di antar ayah ke rumah Tante Flora.

Hari itu

Satu tahun dua bulan sudah berlocatan menjadi sejarah. Kejadian itu masih terekam dengan jelas dan sempurna. Bahkan seperti baru terjadi kemarin. Hari dimana kebahagiaan melarikan diri dari kehidupanku.

***

Bukan aku namanya bila tidak menggerakan jari di atas laptop. Aku sedang menuangkan inspirasi ku ke dalam kertas putih di layar. Dua setengah halaman sudah terisi penuh dengan tinta hitam. Saat hendak mematikan benda kotak ini, teleponku berdering.

"Temui aku di taman, sekarang." Kata yang sangat dingin itu terdengar diteleponku. Tak seperti biasanya dia seperti ini. Namun aku tidak peduli. Mungkin dia hanya sedang lelah akibat bekerja. Akupun segera  keluar dari apartemenku. Menguncinya lalu masuk ke lift. Kutekan angka 1 dan lift pun membawaku turun kelantai dasar.

'Ting' Bunyi lift terdengar. Pintu lift terbuka dan aku langsung berjalan ke taman mencari batang hidungnya. Pria itu sedang duduk di kursi tengah taman. Dengan gembira aku segera menghampirinya. "Sayang," aku melingkarkan tanganku ke lehernya.

Lalu, aku duduk disampingnya. Kurasa dia kedinginan. Tentu saja, dia tidak memakai sarung tangan. Akupun segera mengeluarkan sarung tangan dari jaketnya dan memakaikannya. "Lain kali pakai sarung tanganmu. Untuk apa kau membeli sarung tangan bila tidak dipakai?" Dia hanya diam. Bibirnya tak bergerak sedikitpun. Meski itu untuk tersenyum.

Aneh. "Kenapa diam?" Aku menatapnya. Dia hanya menghembuskan napas. Kurasa ada hal penting yang ingin dia sampaikan.

"Mulai sekarang, jangan panggil aku sayang, jangan sms/ telepon aku, jangan pernah menemuiku, jangan menyebut namaku, jangan mengingat aku, dan jangan pernah mencintaiku lagi." Dia berbicara tanpa henti. Bahkan tanpa menarik napas. Aku benar-benar tidak mengerti maksud dia. Kenapa dia jadi seperti ini? Aku tak menjawab sepatah katapun. Dan tiba-tiba saja kata yang tidak pernah terpikirkan olehku terdengar.


"Aku pikir hubungan kita sampai disini saja."


***
Itulah saat terakhirku melihat sosok dirinya. Sedang apa dan dimana? Aku juga tidak tahu. Hanya saja, pasti dia sedang berbahagia. Kegelisahannya selalu mengejar-ngejar diriku.


1399



Akhir Kata, Terima Kasih



Hal yang sangatku jaga dari dulu ini ku pinjamkan untukmu, pangeran. Berbagai kalimat yang kau lontarkan menggetarkan gendang telingaku dan semakin memantapkan rasa percaya yang ada. Kau mendekapnya, melemparkan cium, dan menghanturkan kata manis, selalu.

Sampai pada hari itu tiba, aku menagih seluruh ucapanmu. Ingin melihat apa yang terjadi dengan hatiku. Betapa terkejutnya aku, darah dan air mata berlinang di permukaan. Perban menutupi kulit merah mudanya. "Maaf," hanya itu yang keluar dari mulutmu. Lalu kakimu melangkah jauh. Tanganmu mengambil sahabatku. Menculiknya, mengikatkan sebuah benang jalinan jodoh yang terkutuk.

Ternyata, cinta itu buruk. Dia lebih kejam daripada seorang pembunuh. Aku menuang air susu dan menyuguhkannya untukmu. Sedangkan kamu, membalas menhujaniku dengan air tuba. Rupamu mungkin baik, namun isinya lebih busuk dari apapun. Permainan ini berakhir. Game over, prince.

Dusta bila aku berkata aku bisa tegar. Dosa sudah tercatat dengan tebal.  Inilah salah satu cara aku bisa mematangkan kerelaanku. Bukan sahabat namanya bila membicarakan hal yang bersifat umpat dibelakangnya. Ku biarkan angin berhembus dan membawa jauh seluruh pilu yang tertuju untukku. Maaf sahabat, sementara waktu, biarkan aku sendiri.

Kristal garam kabur dari mataku dan berlari menuju pipi. Tangan sesegera mungkin menjemput dan menyembunyikannya. Salah, kristal ini lebih berharga dari sosok sepertimu dan cinta busuk yang kau sajikan. Dirimu hanyalah salah satu dari sekian pemulung cinta yang ada, bukan pangeran tampan dari setiap negeri dongeng. Mengumpulkan semua wanita lalu meninggalkan setumpuk kisah menyakitkan. Pangkatmu tidak akan naik lagi.

Terima kasih, engkau berhasil mengajariku betapa pentingnya menjaga setiap hal yang kumiliki. Juga, karena telah menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya. Faktanya, orang yang paling kau cintai bisa menjadi nomor satu dalam hal menyakiti dirimu.

Ini, ada sekotak hadiah untukmu. Sebentar lagi ia akan merasuki kehidupanmu. Karma tidak tertidur, hanya belum menampakan diri. Dia masih bersembunyi di balik kotak. Jangan membukanya, dia akan terbuka sendiri. Selamat menikmati, pangeran palsu!

Untuk dirimu yang sudah menggoreskan luka di ulu hati. Terima kasih.

Bukan Aku



Pemenang itu bukan aku, tapi dia. Jangan berharap gelar itu di pindahtangankan untukku.
Penarik tatapan semua orang itu bukan aku, tapi dia. Aroma tubuhnya menyengat mata.
Penyubur keceriaan itu bukan aku, tapi dia. Gelaj tawa akan meledak saat suaranya memantul.
Dan, aku? Hanyalah gagal.

Selalu saja selangkah di depanku, mungkin lebih. Aku melompat maju lalu kau terbang jauh ke depan. Menyelimuri diriku dengan asap kekalahan. Belum berhenti, belum menyerah. Tapi, apa daya? Masih saja di baliknya. Bosan menatap punggungmu.

Jalan? Tidak akan terkejar. Sudah terlalu jauh dariku. Maaf, tak ingin tertinggal lebih jauh lagi.
Lari? Jangan harap bisa melampauinya. Kecepatannya di ambang rata-rata. Yakinlah, sulit.
Terbang? Sudah terlambat. Tidak baik meniru. Cari jalan lain.

Kesal pasti. Geram, tentunya. Benci, belum bisa di juluki seperti itu. Satu niat menyelusup dan seribu cara sudah aku kemas. Tapi, berbagai tak-tik yang kau perkenalkan lebih mujarab. Bimbang apa yang harus ku perbuat.

Cita-cita belum bisa ku raih. Kau menghalangiku untuk menggapainya. Ion-ion semangat sudah bertebaran saat aku melaksanakan strategi. Partikel peruntuh keberhasilan datang bertamu. Mengusij setiap waktu yang berlalu. Memanasjan teliga yang menangkap sorakan.  Menancapkan kata busuk kepada hati yang sudah mulai retak.

Sebaliknya, tak terlihat perjuangan yang kau keluarkan. Kau bekerja, namun pasti kegagalab beranjak jauh. Pujian berterbangan mengisi pendengaran. Bangga merasuki hati sang sanak saudara. Kelam menghantuiku.
Namun, tunggu. Usaha ini belum berakhir. Semoga saja, aju bisa menyentuhnya. Setidaknya, tempat itu.

5 Wejangan dan 1 Harapan


Apakah aku bisa melepas jeratan ini? Sakit sekali. Kelam selalu tertuang penuh untukku. Membasahi diriku tanpa dosa. Kau juga menyiksaku tanpa perasaan. Menarik seseorang kedalam dekapanmu saat kau sedang menggenggam tanganku. Tersiksa. Hanya butiran kristal yang menemani.

Kapankah kamu sudah merencanakan semua ini? Aku sudah menyerahkan seluh kepercayaan untuk kau simpan. Dan kau mencemarinya, mengubahnya menjadi pecahan harapan kosong. Mencabangkan jalur yang akan di leeati partikel-partikel cintamu.

Dimanakah hati nuranimu? Kamu tega mengoreskan retakan dalam perjalanan kita. Membuat karat pada mesin yang memproduksi cinta. Menuliskan sejarah dalam kisahku. Memori kelam yang tak ingin tercatat, terasa, ataupun terlalui. Menumbuhkan rasa pedih namun tidak membunuh cinta yang ada.



Kenapa prosisi itu harus termuntahkan? Sukses menyusupkan sebuah argumen yang yakin bila kau berniat baik. Ternyata, selama ini aku hanya menyaksikan sebuah panggung boneka. Kau bebas membuat skenario. Berhak melakukan dan menghalalkan segala macam cara. Demi kesuksesan acara itu.

Bagaimana caranya aku menculik semua rasa yang kau tular? Mereka harus pergi jauh dan tidak boleh kembali ke tangan pemiliknya. Meski dengan tembusan yang tak terhitung harganya. Gunjingan demi gunjingan bergulir dari satu mukut ke yang lain. Menyebarkan berbagai kabar berita tentang kita. Menyemburkan topik hangat dan membekukan semua atom cinta yang tertinggal di hati.

Tidak masalah bukan bila atom ini belum aku lepaskan? Sulit untuk merelakan sebuah rasa yang unik ini. Langka, sungkar untuk di cari. Dia datang sendiri, juga meminta pergi. Perjuangan yang berakhir sia-sia. Hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Tapi, hatiku mengurung rasa itu dan belum melepaskan jeratan hukuman yang di jatuhi untuknya.

Seandainya saja aku tidak terbawa suasana saat kau mendongeng, dulu. Mungkin, tidak akan berujung pada akhir ini. Seandainya saja wanita itu tidak pernah bertemu. Mungkin, kita masih bergandengan membicarajan masa depan kita nantinya.

Lalu, siapa yang salah? Aku, kamu, atau dia?

04 February, 2014

Untuk Kalian


Kasih sayang bukanlah sebuah perhiasan. Bukan permata atau pun semacamnya. Dia hanya sebuah rasa yang akan hadir pada setiap orang. Untukku, untukmu, dan untuknya. Tapi, dia sangat bernilai. Bermakna dalam kehidupan semua makhluk hidup. Manusia, hewan, tumbuhan, atau yang tidak kasat mata.

Dia berlabuh, tapi bukan menuju kehidupanku. Dari relung hatimu dan nyasar ke arah matahari yang terbenam lalu berakhir. Dia terbit ke arah wanita yang kau puja itu. Aku terus memerhatikan bundaran itu. Berusaha menghilangkannya. Namun, hanya seonggok asa yang ku terima. Dia akan memudar dengan sendiri. Dan, dia akan tersusun kembali tanpa di minta.

Pemberi harapan sepertimu itu memang menyayat hati. Membuang semua anggan yang selaluku impikan dan menyertakku dengan sendu. Pilu merayap memakan semua tawa yang beredar di antara kita. Meruntuhkan bangunan kokoh dan menyisahkan selapang kekacauan.

Belum sedetikpun aku merasakan saat-saat berada dalam dekapanmu. Jalan menuju tujuan itu terputuskan oleh seorang penggangu. Mengusik pikiranmu dan mengacaukan rasa yang kau rawat untukku. Perlahan terangkut dan melayang untukknya.


Hanya bisa terkurung dalam kesunyian.

Untukmu sang penumbuh cinta, kapankah kau hilang dari kehidupanku? Jangan merasa nyaman untuk terus merombak setiap mesin ingatanku. Jangan merasa nyaman untuk memasukan sebuah rasa aneh itu ke dalam pelosok hati. Dan, jangan merasa nyaman untuk meniupkan angin penghalau yang menahanku untuk bebas. Setumpuk pembalasan akan segera menimpamu. Duduk, dan tunggulah. Karma akan menghampirimu.

Lalu, untukmu sang penebang tugu cintaku, sudahkah kau puas menghancurkan semua mimpi yang selalu inginku gapai? Kamu boleh merebut dia dariku, kamu boleh mencabut kebahagiaanku, kamu juga boleh mencairkan masa depanku dengannya. Itu berarti, aku boleh membencimu, menghinamu, dan membalasmu bukan?

Juga untuk otakku, masihkah engkau sanggup untuk menyimpan ingatan yang tak berharga itu? Tidakkah kau merasa lelah setelah sekian lama di khianati?

Terakhir, untuk hatiku, bagaimana bisa kau terus memendam rasa yang bertepuk sebelah tangan itu?

 

03 February, 2014

Senja yang Tak Sama


Sinar jingga mentari berpantulan diantara batang-batang pohon yang menjulang tinggi. Membawa sebuah hawa senja dan menusuk kulit bagi siapa yang mengunjunginya. Daun-daun berguguran bersama mentari yang mulai menenggelamkan dirinya. Aku duduk sendirian diatas bangku kayu reot yang termakan usia.

Tempat ini banyak terlekat kenangan, antara kamu dan aku yang sudah mengucapkan salam perpisahan. Aku ingin mengubah kejadian itu. Menarik kembali sebuah ucapan keramatku. Juga memperbaiki retakan-retakan yang sudah kita ciptakan. Sejujurnya, aku masih belum rela melepasmu dari dalam genggamanku.

Aku membayang, betapa bahagianya bila kita masih mampu duduk berdua menyaksikan senja ini. Tertawa riang, membagikan cerita dan menghilangkan jenuh. Menghadirkan sebuah perasaan nyaman yang tak akan pernah ku terima dari yang lain.

Tapi kenyataan begitu kejam.

Sedang dirimu merajut hubungan bersama dia, aku begitu rindu dengan usahamu untuk melukiskan sebuah senyuman dibibirku. Yang kini digantikan oleh tetesan air mata.

Tidak mungkin ludah ini ku telan kembali. Aku sudah berkomitmen dan aku tidak boleh mengubah sebuah keputusan yang sudah ku pilih. Namun sungguh rasa ini terus tumbuh seiring dengan waktu. Sulit untuk menghapuskan sebuah rasa yang telah tumbuh karena peluh.

Setiap kali menapaki tempat ini, memori itu mengisi lagi setiap kekosongan dipikiranku. Wajahmu langsung tampak dan kerap pertanyaan-pertanyaan berkelebat didalam otakku.

"Apakah kau merindukanku?"
"Sudahkah wajahku terhapus dari dalam kenanganmu?"
"Kau masih ingat bukan dengan tempat ini?"
"Tidakkah kau menyesal?"



Dia pernah meloloskan sebuah janji di sini. Menenangkan hati yang selalu dilanda ketakutan dan kecemasan. 'Tak akan meninggalkanku'. Lalu apa gunanya ucapanmu itu? Mengapa kau tak mempertahankanku dan memutuskan untuk berpindah hati?

Sekarang, aku hanya bisa terbujur kaku disini. Meratapi sebuah senja yang tak lagi sama tanpa kehadiranmu.

01 February, 2014

Mimpi Berganti Kenangan


 

Dahulu, ada satu hal yang sangat aku idamkan. Aku menggantungnya setinggi mungkin. Menumpuk tiap hal yang bisa membantuku menggapainya. Senyuman selalu tertarik di bibir tiap kali membayangkannya. Pasti keceriaan akan mengikat kita nantinya. Aku menunggu hingga saatnya tiba, berada dalam dekapanmu.

Perkenalan membuat aku dan kamu bisa bersama sejauh ini. Menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Berceloteh, mengiangkan tawa, menyuburkan cinta, menawarkan semua masalah hingga waktu mengantar pada tujuan terakhir.

Tak ada yang tahu apa yang akan di temui di ujung sana. Tentu saja ingin menyentuh kebahagiaan. Benar. Sekarang, bukan lagi aku dan kamu melainkan kita. Kebahagiaan meliputi kita berdua. Kita mengatur akhir bahagia di balik pelangi. Berawal dari mimpi dan membawa kita hingga berada di sini.

Ketentraman belum mendatangiku. Kegelisahanlah yang selalu menjenguk tiap waktu. Takut di buang, takut di khianati. Memetik pemahaman yang tertera di benaknya. Aku tahu hal yang buruk sudah tertanam di hatinya. Namun, entahlah, aku tidak bisa mengerti.


Pelangi kita, yang sekarang menjadi milikku, luntur. Membasahi dirinya yang bergandengan tangan bersama wanita idamannya itu. Awan kabut memenuhi relung hatiku. Menghujani pikiranku dengan beratus-ratus kenangan.

Indahnya mimpiku telah musnah, bersih. Buruknya akhir yang aku dapatkan terus menghantui. Lebatnya angin kencang memorak porandakan suasana hatiku. Menyabit semua mimpi yang pernah aku tanam.