03 February, 2014

Senja yang Tak Sama


Sinar jingga mentari berpantulan diantara batang-batang pohon yang menjulang tinggi. Membawa sebuah hawa senja dan menusuk kulit bagi siapa yang mengunjunginya. Daun-daun berguguran bersama mentari yang mulai menenggelamkan dirinya. Aku duduk sendirian diatas bangku kayu reot yang termakan usia.

Tempat ini banyak terlekat kenangan, antara kamu dan aku yang sudah mengucapkan salam perpisahan. Aku ingin mengubah kejadian itu. Menarik kembali sebuah ucapan keramatku. Juga memperbaiki retakan-retakan yang sudah kita ciptakan. Sejujurnya, aku masih belum rela melepasmu dari dalam genggamanku.

Aku membayang, betapa bahagianya bila kita masih mampu duduk berdua menyaksikan senja ini. Tertawa riang, membagikan cerita dan menghilangkan jenuh. Menghadirkan sebuah perasaan nyaman yang tak akan pernah ku terima dari yang lain.

Tapi kenyataan begitu kejam.

Sedang dirimu merajut hubungan bersama dia, aku begitu rindu dengan usahamu untuk melukiskan sebuah senyuman dibibirku. Yang kini digantikan oleh tetesan air mata.

Tidak mungkin ludah ini ku telan kembali. Aku sudah berkomitmen dan aku tidak boleh mengubah sebuah keputusan yang sudah ku pilih. Namun sungguh rasa ini terus tumbuh seiring dengan waktu. Sulit untuk menghapuskan sebuah rasa yang telah tumbuh karena peluh.

Setiap kali menapaki tempat ini, memori itu mengisi lagi setiap kekosongan dipikiranku. Wajahmu langsung tampak dan kerap pertanyaan-pertanyaan berkelebat didalam otakku.

"Apakah kau merindukanku?"
"Sudahkah wajahku terhapus dari dalam kenanganmu?"
"Kau masih ingat bukan dengan tempat ini?"
"Tidakkah kau menyesal?"



Dia pernah meloloskan sebuah janji di sini. Menenangkan hati yang selalu dilanda ketakutan dan kecemasan. 'Tak akan meninggalkanku'. Lalu apa gunanya ucapanmu itu? Mengapa kau tak mempertahankanku dan memutuskan untuk berpindah hati?

Sekarang, aku hanya bisa terbujur kaku disini. Meratapi sebuah senja yang tak lagi sama tanpa kehadiranmu.

No comments:

Post a Comment