Satu, dua, tiga, empat. Empat hari lagi. Telunjukku mengarah
pada angka empat belas yang tertera di kalender. Sebuah hati merah yang ku lekatkan di samping
angka itu mampu mengingatkanku akan hari kasih sayang. Seketika, sosok wajahnya yang cantik jelita memenuhi
ruang pikiranku. Suara merdunya yang
memanggil-manggil namaku terasa. Senyuman terulas dari bibir dan langsung terenyahkan karena kejadian hari ini.
Aku gagal menjumpai dirinya. Dia tak bisa ditemukan dimana pun.
Semoga saja rencana gilaku tidak akan berakhir seperti itu juga. Misi ini akan
berjalan lancar. Aku memasukan pikiran positif ke dalam otakku. Sekarang waktunya untuk bertemu dengannya di alam
mimpi.
***
Dirinya sedang menyantap makan siang seorang diri. Inilah
saatnya untuk memulai aksiku. Selangkah baru terlewat dan segerombolan lelaki
sudah mengerumuninya. Gagal lagi. Aku mengurungkan niatku dan mencoba membuang
jauh-jauh ide tadi.
Mendadak, dia bangkit dari kursinya. Mengeluarkan diri dari
kurungan itu. Lalu melesat ke arah taman. Baiklah, ini waktu yang paling tepat.
Niat itu kembali mendatangiku. Saatnya beraksi.
“Sendirian aja?” Tanyaku memulai pembicaraan. Dia berbalik
ke belakang dan menyaksikan diriku yang sedang membawa sebuah gitar. “Iya.” Aku
mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Lagu ini aku persembahkan untuk
seseorang yang berhasil merebut hatiku.” Sebuah lengkungan terpancar dari
bibirnya saat dentingan lagu mengalir.
Aku bisa melihat kristal garam yang membasahi matanya. Belum
mengalir. Sesedih itukah laguku hingga dia menangis?
Lagu berakhir, dia bertepuk tangan. “Indah,” dia tersenyum lalu meletakkan kepala mungilnya di atas
bahuku. Jantung berdebar begitu kencang. Ragu, namun akhirnya aku mengusap
rambut halusnya. Selangkah lagi, aku akan berhasil. “Terima kasih.” Air matanya
meluncur dengan deras. Kurasa ada beban yang sedang dia hadapi. “Kenapa?” Dia
terdiam, masih membaringkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Hanya lagumu sangat
menyentuh. Tolong mainkan sekali lagi.”
Petikan lagu terdengar kembali. Mengisi taman luas dan kedua
hati kecil kami. “Semua akan berakhir bahagia.” Aku meyakinkan diri.
***
Sebuah kaleng kecil yang berdiri tegak di atas meja
belajarku sudah memakan banyak uang jajan. Aku mencoba meraih, mengeluarkannya, dan
menghitungnya. Rp 263.700,00,- Lebih dari cukup untuk membeli semua
perlengkapan. Aku menengok kearah jendela. Matahari sudah mulai pergi ke
peraduannya. Aku segera mengambil kunci dan berangkat ke pusat perbelanjaan.
Barang-barang yang ada disini sangat menggodaku. Namun aku terus mencoba membuang jauh-jauh keiinginanku itu. Aku mencoba berkeliling dan aku berhasil menemukan sebuah benda berkilau panjang yang sangat indah. "Ini cocok sekali untuk dipakainya. Apa? Harganya cukup mahal. Apa uangku cukup?" Aku mencoba menghitung uangku lagi dan beruntung uangku cukup. Aku segera membayar semua barang dalam keranjang ini dan hanya tersisa uang yang sedikit. "Tak apa. Pasti ini akan menyentuh hatinya. Harus, musti, kudu, dan wajib," pekikku dalam hati.
Barang-barang yang ada disini sangat menggodaku. Namun aku terus mencoba membuang jauh-jauh keiinginanku itu. Aku mencoba berkeliling dan aku berhasil menemukan sebuah benda berkilau panjang yang sangat indah. "Ini cocok sekali untuk dipakainya. Apa? Harganya cukup mahal. Apa uangku cukup?" Aku mencoba menghitung uangku lagi dan beruntung uangku cukup. Aku segera membayar semua barang dalam keranjang ini dan hanya tersisa uang yang sedikit. "Tak apa. Pasti ini akan menyentuh hatinya. Harus, musti, kudu, dan wajib," pekikku dalam hati.
***
Taman ini kosong. Belum ada batang hidungnya. Aku
menyanyikan sebuah lagu, sambil mencari inspirasi. Betapa terkejutnya diriku
saat mendapati sebuah pelukan yang ternyata berasal dari dia. “Lagunya bagus,
suaranya bagus, semuanya bagus.” Bunga-bunga mulai bermekaran dalam hati dan
bertebaran di mana-mana. Awal yang baik. Dia melepaskan pelukan dan duduk di
sebelahku. “Aku ingin kau terus bernyanyi untukku.” “Tidak masalah, aku akan
melakukannya. Asalkan besok lusa kita bertemu lagi di sini ya.” “Baiklah.”
Tak ada air mata yang mengalir. Baguslah aku tak ingin membuatnya bersedih
lagi. Aku ingin menjadi pensil senyumannya dan penghapus kesedihannya. “Aku
cinta kamu.” Dia terdiam.
***
Aku tidak berani berjumpa dengannya hari ini. Aku takut
seluruh perjuanganku berakhir sia-sia. Namun, ini adalah misi. Tetap harus aku
laksanakan besok.
Coklat-coklat ini mulai ku cairkan dan membekukannya menjadi
lima hati. Aku mulai berkarya, mengalirkan seluruh partikel cinta yang ada. Tak
lupa, aku menggoreskan kata diatasnya. Would
di coklat pertama, you kedua, be ketiga, my keempat, girlfriend terakhir. Cukup romantis, bukan?
Aku bisa melihat cinta sedang berterbangan dalam kelima coklat itu.
Tirai hitam dengan paduan bintang tergelar di langit. Aku
mulai menuang seluruh perasaanku yang terpendam ke dalam secarik kertas. Ku
gunakan semua kata-kata terbaik yang ku miliki. Merangkai dan menyusunnya
menjadi sebuah surat. Surat cinta pertamaku. Hiasan bertempel di sana-sini,
Berharap, aku bisa menghias kehidupannya.
***
Akhirnya tibalah hari yang sudah ku tunggu sejak lama ini.
14 Februari 2014. Aku tidak berani bertemu dengannya kemarin dan awal hari ini
aku mendapatkan kejutan luar biasa. Sebatang coklat terpajang di atas mejaku
dengan nama pengirim seperti yang ku harap. Dia.
Keraguan yang menyelinap dalam diriku berubah mejadi sebuah keyakinan. Secarik surat, sekotak coklat, dan setangkai mawar merah, juga
kalung siap diserahkan. Cukup menyerahkannya lalu menerima jawabannya,
selesai.
Aku menapakkan kakiku perlahan kearah taman. Jantung sudah berdebar begitu
kencang, namun harapan di hatiku sudah matang.
Mataku menangkap sebuah pemandangan yang tidak elok di pandang mata. Dia dan saudaraku berpelukan. Seketika, serbuan belati menyerang. Tenagaku melayang entah kemana. Benda yang ingin ku serahkan ini terhempas ke tanah. Menimbulkan sebuah suara dan mata mereka tertuju padaku.
Aku menghilangkan status ku sebagai pria. Setetes cairan
bening mulai membasahi pipi. Ku bedaki wajahku dengan sebuah senyum. Aku berjalan perlahan
kearah mereka dan membisikkan sebuah kata “selamat,” kedalam daun telinga
saudaraku. “terima kasih, ini hadiah terindahku,” aku bisa melihat air mata
berlinang saat dia melihat benda yang sedang ku genggam ini. Namun semua sudah
terlambat. Dia mendekap mulutnya mencoba tidak meneriakkan namaku.
Aku memang penghapus kesedihannya. Namun, dia adalah spidol
permanent yang menggambakan pilu dalam kehidupanku. Aku tidak bisa
menghiburnya.
No comments:
Post a Comment