10 February, 2014

Ibu

Lantunan musik ini membawaku kembali ke masa dimana umurku masih benih.

***


Kedua tulang kakiku masih belum siap untuk menahan badan. Butuh bantuan sentuhan kulit ibu. Peluhnya bercucuran hingga mengenai kulit lembut yang membungkusku. Masih putih bersih, tidak seperti ibu yang sudah kehilangan kelembutannya. Demi bekerja, mengusir debu, mencuci setiap helai baju, menghidangkan makanan, dan tidak bisa ku sebut satu-satu.

Tengah malam, ia sering kabur dari mimpi dan kembali ke dunia fana. Menengok seorang bidadari kecilnya yang sedang masuk ke dalam lelap. Segala keluh kesahnya seperti melayang, merangkak pergi, saat kelopak matanya menangkap sosok buah hati.

***
Sabtu pagi selalu ku habiskan dengan berpergian bersama sahabat. Aku pergi bermain dengan teman sebayaku dan meninggalkan ibu sendirian di rumah. Aku tahu itu tidaklah berprikemnusiaan. Namun, aku tak peduli, yang terpenting aku bisa bermain sepuasnya. Menghabiskan waktu bersama teman lebih menyenangkan ketimbang dengan ibu.

Dulu mungkin sampai sekarang, aku adalah penawar kegelisahannya. Sekarang, ibu adalah bibit kegelisahanku. Ia tak mengerti arti dari anak jaman sekarang.

Telepon genggam jarang sekali mengalami masa sunyi. Dentingan keras pasti menemani kemana pun aku pergi. Seperti sekarang ini. Ibu. Tertera wajah manisnya dengan senyuman di layar. Bosan menerima celotehan dan beribu pesan yang dia hanturkan. Tadi, dia sudah menelepon berpuluh-puluh kali. Mengusik kesenangan ku saja. Tombol merah pilihan terakhir.

Pesan masuk, terpaksa aku membukanya. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati pesan bahwa ibu telah pulang ke atas sana. Setetes demi setetes air mata berlomba-lomba membasahi pipi.

***
Cinta ini masih tertuju pada ibu. Kegelisahan bisa saja datang mengadu domba cinta kita. Yang terpenting, ibu dan anak tidak dapat di pisahkan. Apa yang sudah di persatukan secara abadi, tidak akan pernah bisa memaksakan dirinya untuk mengubahnya.

Aku masih bertapa dalam ruang tidurku. Menikmati lantunan musik yang dulu selalu keluar dari telepon genggam. Sekarang, tidak ada nama yang tercantum lagi. Tak ada lagi wajah ataupun senyuman yang muncul bersamaan dengan alunan melodi ini.
Hanya ibu yang sudah menikmati keindahan surga dan diriku yang masih terperangkap dalam dunia fana.

Kristal menetes dari mata. Ibu, aku merindukanmu. Maafkan aku.



No comments:

Post a Comment