19 February, 2014

Penerimaan


Aku bukan boneka, kau tahu itu. Aku rapuh dan mudah kritis, kau juga tahu itu. Lalu, kenapa kau mendatangkan pasukan keris untuk menghantamku? Sebesar itukah kesalahan yang telah ku perbuat? Dendamkah kau kepadaku? Jangan, tolong.

Pertahananku tidak sekuat yang kau kira. Aku pun hanya bisa melepaskan panah cinta sebagai pembalasan. Di tengah kelengahanku, kau menambah aksi. Mencengkram kuat amarah dan menembakkan murka yang amat sangat banyak. Semuanya roboh juga hancur berkeping-keping. Kenangan menyerbu, menyelusuk ke dalam pikiran.

Tetesan air hujan dan kristal dari mata membaur. Kau hanya terpatung di ujung persimpangan. Kepahitan kian mendekap diriku. Luka dan bisa melekat erat di tubuh. Kau terbujur kaku, berbagai kalimat sepertinya telah merenggut belas kasihanmu. Kau melangkah mendekat. Perlahan, akhirnya berlari menjauh.


Aku berusaha bangkit dan mengais sisa-sia senyuman dan tawa. Menyingkirkan seluruh keris-keris kotor yang kau hadiahkan untukku. Mataku masih normal, aku mampu melihat dirimu yang mengintai disana, "hendak apa kau?" Kau melenyapkan rupamu di balik kabut.

Tumpukkan kapsul yang pahit itu memenuhi jalan. Sedang tawa, hanya segelintir yang terkumpul. Prajuritmu menyerbu ingin menculik semua bahagia yang ada. Kami bergulat terus tak ingin kalah. Takkan ku biarkan mereka yang terus bersikeras ini membawanya kabur. Namun, apa daya. Mereka berjumlah banyak. Aku mengejar dan hanya letih yang mengepung.

Lantas, aku kembali ke singgasana yang sudah hancur lebur. Belum puaskah penyiksaan ini? Aku bahkan lupa cara mngeja tawa. Sedih, pilu, kelam berpadu menjadi sebuah kesuraman yang paling berjasa dalam memahat tangis.

Dengan seluruh tenaga yang ada, aku berkeliaran memunggut benih-benih cinta yang berhamburan. Bukan benih cinta yang terkumpul, setangkai mawar putih. Tunggu, mawar putih? Siapa yang memberi?
Aku melihat ke sekeliling. Benar saja, jejak kaki masih tercoret jelas. Alangkah gembira hati ini. Bahkan, aku ingat eja-ejaan yang sempat terbengkalai. Sayup-sayup wajah penyesalannya mendera ingatanku. Oh, tidak. Sisi kelicikannya belum di hilangkan. 

Sebait isi hati lolos dari hatiku, "masih ingin menyakiti? Silahkan." Dirinya kembali muncul dengan tangisan yang pecah. Aku membisu tidak mampu berkomentar. Dia menyerahkan setangkai mawar merah.

Hatiku bersorak-sorai kemenangan. Namun otak masih berdemonstrasi. Sejarah membuat tindakan tak mampu di perbuat. Keinginan mengelinding jauh di gantikan kenyataan. Aku meronggoh saku dan menghadiahkannya sebuah gunting, "potonglah hubungan kita, apapun bentuknya itu." Aku terkapar, dia, menghayati seluruh nasib yang menyapu habis keceriaan. Begitu pun dirinya. Membatu. Sulit untuk menerima dirimu yang sudah menghancurkan hatiku.



Sedikit mengingatkanku akan kenangan kelam yang pernah menimpaku. Semakin memicu timbulnya kata-kata dan angan-angan. Ini untukmu...

No comments:

Post a Comment