14 December, 2016

Desember Masih Milikku

Bagiku, Desember adalah ...
Tentang masa lalu yang masih enggan berlalu.
Tentang hujan dan kehilangan.
Tentang rintik yang terjatuh pada satu titik.
Tentang rindu yang hingga kini masih menggebu.

Desember adalah tentang ...
Kau dan aku yang sama-sama memperjuangkan.
Walaupun pada akhirnya,
kau yang tak mampu ku pertahankan.
Membuatmu melepaskan genggaman.
Membuat kita menempuh arah yang berbeda,
pun berbeda jalan.

Perasaan yang sama masih milikku.
Masih utuh tertuju padamu.

Desember ...
Sekarang adalah tentang bahagia.
Aku bahagia melihat kau bahagia karena dia,

Dan Desember adalah tentang
perasaan tanpa penyesalan.

Maaf aku masih peduli.

Pada sebuah waktu di bulan Desember



Dikutip dari "Kumpulan Puisi" karya Ve.

09 October, 2016

Perdebatan Kecil


"Seringkali ku ingatkan padamu, jangan pernah melihat kembali hal-hal itu, tapi sesering itu pula dirimu terus berusaha untuk mengabaikan perkataanku."

   "Apa yang salah dari itu? Toh, aku hanya ingin melihat. Tidak lebih."

"Aku tak pernah yakin dirimu hanya sekadar melihat. Karena justru dari melihat itulah dirimu akhirnya terus-menerus tersakiti."

   "Memangnya apa pedulimu bila aku tersakiti? Bukankah kau bahagia melihat diriku menderita? Yang terus menangis entah kapan akan berhenti?"

"Hei, aku tak pernah berkata demikian. Jangan kau mengada-ada. Aku takkan bahagia melihatmu terus seperti ini. Justru aku peduli denganmu, hingga aku berani untuk menegurmu berkali-kali mesti kau kian mengabaikannya."

   "Huh, apa memang demikian rasanya? Dirimu memperoleh hal yang begitu kau idamkan, namun pada akhirnya hal itu harus kau buang jauh-jauh. Malah, itulah yang akhirnya membuat diriku tak lagi bahagia. Hanya bisa membuatku begitu teriris-iris hendak bunuh diri."

   "AKU SUDAH BERULANG KALI KATAKAN KEPADAMU. JANGAN PERNAH BERKATA DEMIKIAN!"

"Maafkan aku. Sulit sekali untuk mengontrol diri yang sedang bersedih."

   "Apa memang dirimu benar-benar masih bersedih?"

"Ya. Tidak. Entahlah.
Sulit sekali untuk mendeskripsikan perasaanku sekarang ini. Aku sudah melepaskan segalanya. Aku sudah membuang perasaan itu jauh-jauh. Tapi, entahlah, aku tidak mengerti apa yang harus kuperbuat atau apa yang sedang kurasakan. Rasa-rasanya aku masih sulit untuk melupakan."

   "Aku ingin sekali memelukmu, sobat. Tapi, maaf, aku tahu diri. Aku berharap kamu bisa terus melangkah maju, tak lagi bersedih melihat serpihan-serpihan masa lalumu itu. Aku berharap kamu bisa memikirkan dirimu sendiri, dan berhenti untuk memikirkannya."

"Bagaimana mungkin?"

   "Mungkin. Kau hanya butuh waktu. Waktu yang entah berapa panjang, hingga kau benar-benar tak lagi bersedih. Malah kau akan tersenyum bahagia karena hal itu pernah terjadi."

"Tapi..."

   "Sudahlah, jangan banyak tapi-tapi. Cukup dengar dan laksanakan apa yang sudah kukatakan. Apa susahnya mendengar nasehatku?"

"Kau belum pernah merasakannya."

   "JADI KAU MASIH TIDAK INGIN MENDENGARKANKU?!"

Dan begitulah, perdebatan kecil antara hati dan logika. Yang takkan pernah berhenti dan terus berulang, bahkan sampai beratus-ratus hari kemudian.
"Aku tahu betapa sesaknya rasa sakit itu. Setiap helaan napas, setiap detik, laksana ada beban yang menindih hati. Tangisan membuatnya semakin perih. Ingatan terus kembali, kembali, dan kembali. Kau tidak berdaya mengusirnya, bukan?"
-Tere Liye, dalam novel Hujan.
 
8 Oktober 2016
Stefani

31 July, 2016

Sepucuk Surat untuk Sena

Apa yang salah dari 'kita'? Atau malah adanya 'kita' memang salah? Bisakah kau tunjukkan ke aku bagaimana benarnya? Bisakah kau menjawab pertanyaan yang menikam otakku sekarang? Berilah aku penjelasan, setidaknya untuk meneguhkan hati akan sebuah keyakinan untuk tetap memperjuangkanmu.

     Hei sayang, kau kemanakan oksigen yang biasa kubuat bernapas? Aku tidak berada di ruang hampa, Sayang, aku berada di sebuah planet yang biasa kita buat berpijak. Mengapa kau bebas bernapas, sedangkan aku di sini meregang sesak.

     Bisakah kau perbaiki hatiku yang beku karenamu? Pegang saja, kau bebas menggenggamnya bahkan kau leluasa menghancurkan itu. Relakah aku? Jangan sungkan, rusak sesukamu, kikis sesukamu, pecahkan sesukamu, biarlah aku menjerit asal kau senang. Jika melihatku menderita bisa membuatmu mencintaiku,  sakitilah aku sepuasmu. Asal hangatmu bisa kau beri padaku, asal hangatmu bisa kudekap dengan erat.

     Maaf kataku yang barusan agak sarkas. Itu berlebihan. Tapi, tidakkah kau tahu rasanya jatuh berkali-kali untuk memperjuangkan seseorang. Hanya kau! Tapi aku bangkit lagi untuk mengejarmu, lalu dijatuhkan lagi, dan aku bangkit lagi. Terus seperti itu sampai hatiku berkata 'aku menyerah'. Aku selalu menunggu hatiku berkata seperti itu, tapi kian hari rasaku semakin tak ku mengerti.

     Aku sudah terlanjut jatuh, Sena. Aku sudah membeku dalam kurun waktu cukup lama di kastil es-mu. Sinarku belum cukup mampu melelehkan dinginnya kau, tapi aku terus berusaha walau dalam tangis sekalipun. 

     Orang lain akan mengganggapku bodoh. Tapi aku akan memilih jadi bodoh karena hati sudah mematikan akal sehatku. Mereka tidak tahu, seberapa besar perjuanganku untuk menggapaimu, aku tidak akan membuat semua tetesan air mata ini mengalir sia-sia. Satu alasanku, karena AKU PERCAYA.

-Kenarya
Dikutip dari novel 'The Coldest Boyfriend'.

24 July, 2016

Perpisahan dan Melepaskan


Jangan hanya terdiam meratapi kepergiannya yang takkan pernah kembali.
Tapi belajarlah untuk melepaskan dan lihatlah nasib baik sedang berada dipihakmu.
Perpisahan adalah hal yang lazim setelah pertemuan terwujud.
Hanya saja, kita tak tahu kapan, dimana, dan bagaimana perpisahan itu terjadi.
Mungkin memang menyakitkan,
takkan ada yang baik-baik saja setelah perpisahan.
Karena mereka akhirnya menjelma menjadi seorang yang teriris-iris hatinya, tergali terus ingatannya akan kenangan manis yang sudah dilewati bersama.
Namun perpisahan itu, akan memantapkan hatinya, menyusun kekuatan hingga mampu menjadi seseorang yang tangguh, yang kuat menghadapi segala situasi.
Percayalah,
perpisahan tak seburuk itu.
Percayalah,
meskipun aku tahu tak semudah mengucapkannya.
Percayalah,
aku juga pernah mengalaminya.

"Bahwa sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukan diri sendiri."
 -Tere Liye, dalam novel Hujan.

24 Juli 2016
Stefani

06 July, 2016

Potongan Masa Lalu


Jalanan lengang.
Satu-dua kendaraan melintas terburu-buru, hendak pulang kerumah masing-masing.
Aku merapatkan jaketku, berusaha mengusir angin malam yang terus menusuk kulit.
Satu kendaraan lagi melewatiku, melesat cepat, enggan untuk menurunkan kecepatannya.
Langkah kakiku semakin cepat, seiring dengan tetesan hujan yang semakin deras.
Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menepi dan berteduh.

Pepaduan antara remang-remang lampu jalanan dan derasnya air hujan cukup untuk membuatku  kembali mengingat masa-masa itu.
Disaat semuanya masih baik-baik saja.

Waktu itu, sekitar sembilan bulan yang lalu.
Aku tidak banyak berbicara, hanya duduk dibelakang orang yang amat kusayangi.
Aku menatap punggungnya yang dibalut jaket berwarna hitam.
Kami hanya terdiam melintasi jalanan ibukota yang ramai.

Langit terlihat mendung.
Semua orang berbondong-bondong ingin sampai ke tempat tujuan secepatnya, begitu pun kami.
Angin terus menerpa wajahku, menerbangan anak-anak rambutku hingga tak karuan.
 
Aku bisa merasakan pergelangan tanganku yang diusapnya lembut.
Matanya masih menatap lurus kedepan, tak sedikitpun menoleh kearahku.
Dia menarik dan melingkarkan tanganku ke badannya.

Aku tidak banyak berbicara.
Hanya terdiam dan terus memeluknya, enggan melepaskan.

Lampu merah membuat kami terhenti sebentar.
Terpaksa menunda waktu untuk sampai ke tujuan.
Dia membalikan badannya sedikit, memeriksa keadaanku.

"Apa kau kedinginan?"

Aku merenggangkan pelukanku, mengangguk pelan.
Tak banyak bicara, dia langsung melepaskan jaket yang ia kenakan dan memakaikannya kepadaku. Padahal, perjalanan masih cukup jauh.

"Tidak, kau bagaimana?"

Seulas senyum terlukis dibibirnya, tanpa ada sepatah katapun jawaban.

Lampu berubah hijau, dan sekali lagi, dia membuatku memeluk dirinya, yang tanpa mengenakan jaket, hingga sampai ke tujuan.

Geledek hujan membuatku tersontak dari ingatan itu.
Membuat sebagian mobil yang terparkir berteriak kaget.
Pemiliknya pun segera keluar mematikan alarm dan kembali masuk ke rumah, mencari suasana yang nyaman dan hangat.

Apa masih belum cukup waktu yang selama ini sudah kulewati sendirian?
Aku mengusap air mataku yang ternyata sedari tadi sudah mengalir, tak kalah derasnya dengan hujan.

Seandainya kita masih bersama, apakah mungkin sekarang aku berada persis dibelakangmu, menatap jaket hitammu, dan memelukmu disepanjang perjalanan?
Seandainya kita masih bersama, apakah aku akan sendirian disini? Berteduh dari masa lalu, sulit untuk merelakan yang telah terjadi?

Dan disaat itu lah aku menyadari, aku belum sepenuhnya merelakan kepergiannya.

=====

Karena ada saatnya orang berubah
Entah karena waktu atau masa lalu
Entah karena hari atau naluri
Setiap insan yang mendamba tau mencintai
Entah kapan harus terungkap atau harus menghilang
Semua rasa dikata akan indah pada waktunya
Kapan dan apa yang terjadi belum tentu kita yang prediksi
Bukan soal siapa yang memenangkan petarungan ini
Semuanya akan berubah
Dan, itu pasti
Memang masanya telah habis
Tak bisa kau bawa pulang walau sebutir
Dan hati ini harus tetap lapang
Karena yang terjadi hanyalah bagaimana insan mencinta ini harus bersabar
-NN

4 Juli 2016
Stefani