12 February, 2014

Mencari? N.I.H.I.L


Berlayar sudah menjadi mata pencaharianku selama ini. Angin sudah menjadi sahabat yang setia menemani. Meniupkan gumpalan asap dan menjalankan kapal yang ku rakit. Air sudah menjadi penenangku sedari dulu. Sekarang ia adalah dokter yang bisa menawarkan semua rasa sakit. Meski hanya untuk kurun waktu yang singkat. Tak lupa, kompas. Perkakas penting untuk menentukan arah. Di dalamnya sudah tercatat sedemikian rupa syarat. Hanya tinggal menemukannya.

Misi itulah yang terus memaksaku mencari. Menginginkan benda berkilau yang berada dalam peti. Bisa di sebut harta. Tapi, lebih dari itu, cinta.

Tiga tahun, dua bulan lebih enam belas hari sudah ku korbankan demi perjalanan panjang dan melelahkan ini. Seluruh persediaan makanan hampir mencapai kosong. Tak banyak yang tersisa. Waktu sudah banyak terbuang percuma dan aku belum menemukan apapun.

Aku di kembalikan kepada masa satu tahun dua bulan yang lalu. Ada sebuah pulau yang indah menarik perhatianku untuk masuk ke sana. Disanalah aku berhasil menemukan cinta. Ini takdir. Aku sudah merawatnya dengan susah payah. Ternyata, itu bukanlah cinta. Perlahan, warnanya memudar berubah menjadi hitam. Menghancurkan hati yang selama ini bersenang.

Itulah sebabnya aku masih terus berlayar. Mungkin juga karena gulungan kertas ini. Terlalu banyak peraturan. Tentu, aku tak ingin terjatuh ke lubang yang sama lagi. Hati yang tertanam dalam tubuh sudah menghadapi banyak rintangan. Aku tidak ingin membuatnya tersakiti lagi.

Jenuh untuk melanjutkan. Lebih baik aku kembali ke istanaku. Sempat terbersit ide gila untuk berkunjung ke pulau itu lagi. Gumpalan angin menerbangkan ide itu. Tak mau, aku ingin pulang. Menikmati kenyamanan rumah dan bukan terombang-ambing di sini.

Atau mungkin, aku masih mencintainya?


Untuk perjalanan cintaku dulu. Masih tersimpan, bukan?

No comments:

Post a Comment