07 July, 2015

Akhir dari Kisah Kita

Keringatku bercucuran. Aku berusaha mengelap keringat yang sedari tadi membasahi wajahku. Sekian banyak tissue telah kuhabiskanKurasa aku harus pergi membelinya lagi. Matahari sedang tepat berada diatas kepalaku dan kendaraan yang kutunggu sejak tiga jam yang lalu tak kunjung datang. TIGA JAM.
Mobil itu pun menampakkan dirinya, melaju mulus, dan berhenti tepat didepanku. Klakson dibunyikan dua kali. Kaca mobil diturunkan. Dia memperlihatkan senyumannya. Pintu mobil dibuka dan dia berjalan keluar.
"Maaf telah membuatmu menunggu lama, Kate. Tadi aku harus pergi sebentar dan tidak sempat meneleponmu lagi."
 Aku langsung masuk ke dalam mobil tanpa membalas sepatah katapun. 
"Kate, dengar, aku tahu kamu mungkin marah padaku. Tapi sungguh, aku minta maaf."
Aku mengambil earphone dan memasangkannya ditelingaku. Aku memutar lagu hingga bervolume paling besar agar aku tidak mendengar alasannya lagi. Seharusnya aku tidak masuk ke dalam mobil ini. Seharusnya aku pergi saja dengan menaiki taksi. Seharusnya aku tidak menunggunya. Seharusnya aku sudah tiba disana setidaknya dua jam yang lalu! 
Sewaktu aku bersiap-siap dirumah tadi, Alex tiba-tiba saja meneleponku dan memintaku agar bisa pergi ke taman biasa sekarang juga. Katanya, dia akan menjemputku disana, ada hal penting yang ingin dia bicarakan kepadaku. Aku segera pergi menuju taman, mencari kesana-kemari, dan aku tidak bisa menemukannya. Ini bukan lelucon karena aku telah membuang waktu sebanyak itu, sementara pameran itu sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Pameran? Oh, baiklah aku melewatkannya. Ester pasti akan sangat marah kepadaku.
Setelah tahu Alex akan menjemputku, aku langsung memberitahu Ester bila aku akan menyusulnya nanti. Aku tidak mengatakan apa alasannya, namun Ester menyetujuinya dan berangkat sendiri. Kenapa aku begitu bodoh untuk menerima ajakan Alex? Maafkan aku, Ester.
Earphoneku ditarik paksa. Aku langsung ingin mencaci-makinya, tapi dia menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
"Jangan berisik."
Dia mendekat dan mengecup lembut pipiku. Aku mendesah kuat.
"Bisakah kau belajar untuk menepati janjimu? Bisakah kau belajar untuk tidak mengingkarinya?" Setetes air mata berhasil lolos. Tidak, tidak. Aku tidak boleh menangis didepannya.
Ini memang sudah kesekian kalinya ia membuatku menunggu selama itu. Dan ini juga yang kesekian kali aku menangisinya. Bodoh.
"Maafkan aku." Dia mengelap air mataku, memelukku erat sekali.
Mobil pun melaju dengan kencang di tengah keramaian ibu kota lima belas menit kemudian.
"Alex, kamu tadi pergi kemana? Kenapa jemputnya lama sekali? Memangnya ada hal penting apa?"
Pandangannya lurus menatap jalan di depan. Sesekali menengok, tapi dia masih belum menjawab menjawab pertanyaanku.
"Alex?"
"Hmm?"
Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tidak ingin memicu pertengkaran. Aku bahkan tidak tahu kemana kita akan pergi selanjutnya, pameran sudah tutup bukan? Biarkanlah, aku sedang malas bertanya. 

Dua tahun yang lalu, aku bersama sahabatku Ester pergi ke sebuah pameran lukisan. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku sehingga kami pergi dengan menaiki motor. Ester tidak bisa menyetir  jangan salahkan dia sebab dia memiliki masa yang buruk dengan yang namanya 'menyetir'  jadi akulah yang selalu menyetir kemanapun kami pergi.
Aku bergegas masuk ke dalam pameran setelah memarkir motorku dengan aman. Angin dari alat pendingin ruangan menyerbu menusuk kulitku. Jujur saja, aku sebenarnya tidak terlalu mengerti dengan seni. Esterlah yang lebih menyukainya. Aku datang ke sini hanya sekadar untuk menemaninya dan mengusir rasa bosan. 
Setelah puas melihat-lihat lukisan  yang bahkan tidak terlalu kuminati, aku mengajak Ester untuk makan.
"Aku ingin melihat yang ini sebentar. Kamu pergi makan saja dulu, nanti aku akan menyusulmu. Takkan lama."
Aku mengangguk dan berjalan menuju sebuah tempat makan. Setelah membeli beberapa makanan, aku berusaha mencari tempat duduk. Nihil. Tak ada satu pun tempat duduk kosong yang bisa kutemukan.
"Kamu mau duduk ya?" Seorang pria yang sedang duduk didekatku bertanya.
"Eh? Iya. Aku tidak bisa menemukan tempat duduk."
Aku memandang sekeliling lagi dan masih saja tak ada yang kosong.
"Duduk saja disini, aku sudah selesai makan." Pria itu menyunggingkan sebuah senyuman. Aku sedikit ragu pada awalnya, namun tiba-tiba ia berdiri dan meninggalkanku. Aku pun duduk dan menikmati makananku. "Pria yang baik," gumamku.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ester datang menghampiriku dengan membawa sejumlah makanan.
"Makananku sudah hampir habis dan kamu baru tiba disini."
Ester duduk dihadapanku, "maafkan aku, Kate. Lukisan yang kulihat tadi sangatlah indah. Ini untukmu."
"Dasar pecinta lukisan." Aku memakan kentang goreng yang diberikan Ester sambil bercakap-cakap dengannya.
Kami kembali berkunjung ke sebuah pameran lukisan sebulan kemudian. Bukan pameran yang sama. Kali ini pamerannya berjarak cukup jauh dari rumah sehingga kami memutuskan untuk menaiki angkutan umum. Aku sedang asik memperhatikan pemandangan yang ada di samping kanan-kiri sampai aku menangkap sosok itu. Dia berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia memberikan tempat duduknya kepada seorang nenek-nenek.
"Benar-benar pria yang baik," pikirku.
Aku berpura-pura tidak melihatnya karena pria itu berjalan ke arahku. APA? Dia berjalan kearahku! Dia berdiri disampingku, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ah, biarkan. Mungkin dia sudah melupakan aku.
Gedung pameran itu terlihat cukup ramai. Aku bisa melihat wajah-wajah ceria dari orang yang berlalu-lalang disini. Sepertinya banyak lukisan yang bagus. Pasti Ester akan sangat senang.
"Kate! Kita sudah sampai! Cepatlah aku sudah tidak sabar!" 
Aku melihat ke samping, mencari kesana-kemari. Sosok itu sudah tidak ada lagi. Apakah dia sudah turun sedari tadi? 
"Kate!"
Aku tersentak dan langsung bergegas turun. Seperti biasa, Esterlah yang paling bersemangat bila ada sesuatu yang berhubungan dengan lukisan.
Ester menarik tanganku dan aku pun mengikutinya. Ruangan ini cukup besar. Aku mungkin bisa tersesat bila berjalan sendiri di sini. Sekali dua kali Ester berseru kepadaku mengatakan lukisan ini bagus, lukisan itu bagus. Aku hanya bisa mengangguk setuju.
Satu jam berlalu, Ester masih semangat melihat lukisan. Aku sudah merasa cukup bosan sampai Ester memanggilku.
"Kate! Kemarilah! Coba kamu lihat lukisan ini."
Aku pergi ke arah Ester dan melihat lukisan yang ditunjuknya. Itu adalah lukisan yang indah dengan objek utama seorang wanita yang sedang duduk sendiri. Aku bisa merasakan bila gadis itu sedang memikirkan sesuatu.

Gadis yang Berada di Tengah Keramaian.

Tunggu. Apakah itu aku?
Aku bisa melihat suasana yang digambar berada di sebuah tempat makan. Persis sama seperti ruangan pameran yang kami kunjungi sekitar sebulan yang lalu. Aku tidak mengatakan apapun kepada Ester. Mungkin ini hanya perasaanku saja.
"Bagus sekali bukan?" Kali ini aku mengangguk setuju, benar-benar sependapat dengan Ester.
"Kira-kira siapa ya yang membuat lukisan ini?"
"Gracio," jawab Ester mantap.
"Apa?" 
Ester menunjuk ke tulisan yang ada di bawah lukisan itu.
"Gracio. Lihat saja nama yang terukir disini."
Gracio? Nama yang cukup aneh.
Beberapa hari kemudian, saat itu aku sedang berjalan-jalan di area sekitar taman. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tapi masih banyak muda-mudi yang berjalan-jalan disini. Aku duduk sendirian, sambil memakan beberapa pisang goreng yang aku beli di samping taman. Semua orang terlihat ceria. Ada yang bermain bulu tangkis, bermain layang-layang, sampai bermesraan berdua. 
Tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras. Orang-orang berlarian menepi, tidak ingin dirinya terkena air hujan yang bisa membuatnya sakit. Mereka berlomba-lomba membuka payung dan memakai jas hujan. 
Aku lupa membawa payung sehingga aku juga bergegas pergi berteduh. Setidaknya aku memakai jaket sehingga bisa mengusir dingin yang menjalar dikulitku.
Seorang pria yang membawa payung berteduh disampingku.
"Hai."
Aku sedikit terkejut. Kulirik wajahnya sekilas, namun aku kurang bisa memperhatikannya dengan saksama. Sepertinya aku mengenal pria ini, tapi siapa? Aku hanya memperlihatkan sedikit senyuman lalu kembali memandang hujan.
Lihatlah, aku bisa menyaksikan hujan seperti ini selama yang aku bisa. Hujan memang membuat kenangan menyerbu masuk. Tapi untuk apa memikirkan kenangan yang buruk? Untuk apa merindukan kenangan indah yang pernah terjadi? Semua sudah berlalu dan hanya akan tetap menjadi kenangan.
"Ini, gunakanlah." Pria itu menyondorkan payung kepadaku.
"Tidah, terima kasih. Gunakan saja, aku akan menunggu sampai hujan ini berhenti." 
"Kalau begitu aku akan menunggu bersamamu."
Aku tidak menanggapinya, Kami pun terdiam untuk sementara waktu. Hanya ada alunan air hujan yang terdengar, begitu menenangkan hati. 
Aku belum pernah merasakan cinta. setidaknya cinta yang berbalas. Pria itu sangatlah baik, tapi bisakah aku bertemu lagi dengannya? Lagipula kami hanya pernah berbicara sekilas.
"Alex Gracio." Tangannya terulur kearahku.
"Eh?"
Aku ragu untuk menjabat tangannya. Secara, aku sama sekali tidak mengenalnya. Setelahku pikir-pikir tidak ada salahnya menambah teman. Aku pun menjabat tangannya dan memperkenalkan namaku.
"Jadi kamu sedang apa disini? Sendiri saja?"
Perbincangan pun dimulai bersama hujan yang setia menemani. Orang ini cukup menyenangkan untuk menjadi teman bicara. Usianya sekitar satu atau dua tahun lebih tua dariku. Tinggiku hanya sekitar tiga perempat darinya. 
Benar, dia adalah Alex Gracio. Orang yang sudah memberikan tempat duduknya untukku. Dia adalah orang di angkutan umum itu. Dia juga yang telah menggambar Gadis yang Berada di Tengah Keramaian itu. 
"Aku tertarik melihat dirimu yang sedang kebingungan mencari tempat duduk. Saat kamu duduk ditempatku itu, diam-diam aku memperhatikanmu dan aku melukisnya," kurang lebih begitulah jawabnya.
Aku bisa merasakan wajahku yang bersemu merah sekarang. Siapa sangka aku bisa bertemu kembali dengannya untuk yang kesekian kali? Siapa sangka orang yang tidak sengaja kau temui itu bisa membuat lukisan yang begitu indah untukmu? 
Perbincangan terus berlanjut sampai kami lupa hujan sudah reda sedari tadi. Aku berjalan keluar, menginjak rumput yang basah, mencium aroma kesegaran sehabis hujan.
"Jadi sampai disini saja perbincangan kita?" 
Dia mengikutiku yang berjalan perlahan. Bulan sudah menampakan dirinya bersama dengan bintang-bintang menyatu padu menjadi permadani hitam yang indah.
"Mungkin lain hari?" Aku tidak percaya telah mengatakannya. Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
Sejak saat itulah aku mengenal pria yang sedang menyetir ini. Alex Gracio. Nama aneh yang berhasil membuatku jatuh cinta. Bukankah kehadiran cinta memang tak pernah direncanakan?
Kami pun tiba di sebuah café.
“Kate, kamu duduk saja dulu. Aku mau pergi ke toilet sebentar.”
Aku pun berjalan masuk, mencari tempat duduk yang kosong. Wanita itu sedang duduk sendiri, memperhatikan handphone yang ada ditangannya. Bukankah dia seharusnya berada di pameran?
"Ester!" Aku berlari kecil ke arahnya.
Dia tersenyum. “Hai, Kate!”
Aku duduk dihadapannya dan meletakkan tasku ke samping.
“Sedang apa kamu di sini?”
Sebelum Ester menjawab pertanyaanku, Alex berjalan perlahan ke arah kami. Dia sudah berganti pakaian, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih.
“Kate, ini untukmu.”
Alex mengeluarkan setangkai mawar merah dan menyerahkannya kepadaku. Aku tersenyum senang. Belum ada seorang pria yang memberikan bunga untukku.
Aku menerima bunga itu, melihatnya sekilas. “Terima kasih, Alex. Ini bunga yang sangat indah.”
"Kate, maafkan aku. Aku tidak bisa menjadi seorang 'sahabat' yang baik untukmu. Aku terlalu sering melanggar janji. Aku tidak bisa menjadi penghiburmu disaat kamu sedih. Aku tidak bisa menjadi orang yang selalu ada untukmu. Sungguh, aku tidak bisa menjadi orang yang baik. Maafkan aku, Kate. Aku memberikan bunga ini sebagai tanda permintaan maafku.”
"A-pa?" 
Apa katanya? Sahabat? Aku hanya mengingat kata itu, selebihnya aku tidak mendengarkannya. Baiklah, aku dan Alex memang ‘bersahabat’. Mungkin dia memang tidak ingin memiliki hubungan yang lebih dari sahabat denganku.
“Ester.”
Alex berlutut di depan Ester dan menggenggam tangannya. “Ester, selama ini aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa memendam perasaan ini lebih jauh lagi. Aku memintamu kemari karena aku ingin memberikan sesuatu untukmu.
Dua pelayan datang membawa sebuah boneka raksasa dan sebuket mawar. Alunan musik romantis berdentang, membawa suasanya café menjadi sangat menyenangkan. Namun aku tidak bisa merasakan hawa kehangatannya sama sekali. 
Will you be my girlfriend, Ester?”
Jadi inikah hal penting yang di maksud Alex?
Ester tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. Bulir-bulir air matanya berjatuhan. Antara tertawa dan menangis, semua rasa bersatu menjadi perasaan yang sulit didefinisikan.
“I-ya A-lex. Aku juga mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”
Deg! Ternyata  orang  yang  sangat  aku  percayai  ini  juga  mencintai  Alex  Gracio. 
Sontak mereka berpelukan dan seisi café memberikan tepuk tangan yang meriah. Aku melihat banyak orang yang juga terharu dengan keromantisan Alex ini. Sepertinya aku juga.
Hei, Kate. Kamu seharusnya bahagia mendengar kabar ini. Bertindaklah sewajar mungkin. Jangan menunjukan kelemahanmu. Berikan senyumanmu yang paling manis. Tunjukkanlah!
"Selamat ya, Alex! Selamat, Ester! Semoga kalian berdua bisa terus bersama-sama sampai tua nanti. Aku turut senang mendengarnya"
"Terima kasih, Kate!"
Alex mencium lembut kening Ester, "aku sayang padamu, Ester."
Sewaktu ada hati yang sedang bahagia, selalu saja ada yang terluka justru karena kebahagiaan itu. Semakin lebar senyuman dibibirmu, semakin lebar pula luka yang tercipta. Karena cinta yang tumbuh dalam dirimu hanya mekar untuk dilupakan.



"Permisi sebentar." Aku bergegas berlari ke kamar mandi dan berusaha agar tidak menangis. 
Jatuh cinta bukanlah pilihan, namun melepaskan orang yang disayang adalah pilihan yang paling menyakitkan.
Apa maksudnya tadi memeluk dan mencium pipiku di taman? Apakah aku yang terlalu melebih-lebihkan maksud dari tindakannya? Ternyata Alex sama sekali tidak mencintaiku. Dia adalah pria yang baik, yang takkan bisa kumiliki.
Selama ini aku percaya bahwa Ester tahu aku mencintai Alex. Selama ini aku percaya mereka tidak akan pernah mengecewakanku. Kupikir Ester takkan menjadi orang yang melukai sahabatnya sendiri. 
Bukankah kita sudah bersahabat sejak dulu, Ester? Mengapa kamu merebut kebahagiaanku? Aku bahkan takut mengecewakanmu dan kamu berhasil menghancurkan kepercayaanku dalam sekejap.
Ah, aku tak pantas menangisi dia yang bukan siapa-siapa. Semua usahaku takkan berarti, sebab cinta hanya akan menjelma menjadi hampa.
Inikah cinta yang dipuji orang banyak? Beginikah rasanya? Mengapa terasa begitu menyakitkan?
Aku menghapus air mataku, berjalan keluar dan tidak kembali ke meja itu. Aku pulang ke rumah, meninggalkan sejumlah kesedihanku di tempat itu. Aku adalah gadis yang berada di tengah keramaian. Hanya mampu memendam cinta di hadapan orang yang di sayang.
Kedua sahabatku, berbahagialah.


Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak banyak bicara dan menjauh, baik dari Ester maupun dari Alex.

Baca kisah sebelumnya: Sebuah Kisah yang Belum Usai

No comments:

Post a Comment