05 April, 2015

Sebuah Kisah yang Belum Usai


Musim hujan akan selalu mendatangkan kesejukan. Disertai kenangan-kenangan yang belum hilang dimakan waktu. Ingatan itu berkeliaran di pikiran. Enggan menghilang dan justru merajam hati.

Kala itu adalah bulan keempat. Hampir sama seperti hari ini. Duduk dalam diam tanpa ditemani oleh siapapun. Aku memperhatikan sosok itu, yang dua belas bulan lalu telah berhasil merenggut kebahagiaanku.  Semuanya masih terasa sama. Senyumnya, keriangannya, ataupun kekonyolannya. Namun kedamaian lenyap begitu saja, mengingat cinta yang sudah diambil ahli olehnya.

Ternyata cinta itu memang indah. Tapi menyisahkan luka bagi yang kalah.

Aku memperhatikannya diam-diam. Berusaha sebisa mungkin agar kecurigaan tidak muncul. 

 “Sedang apa kamu disini?” Aku dikejutkan oleh suara yang tak lain adalah temanku, Lucy.
Dia langsung duduk disampingku dan menyesap minuman yang sedang dipegangnya.

“Kau mengagetkanku saja,” pandanganku kembali menuju kedepan. Namun, aku tidak berhasil menemukan sosok itu. Sebersit kekecewaan muncul dari dalam benakku.

“Ayo kita pergi ketempat lain!”  Lucy bangkit dan berjalan menyusulku.

“Eh, mau kemana?”


….
Semalam, aku sama sekali tidak bisa membendung tangisanku. Bulir-bulir air mata berjatuhan seiring dengan waktu tidur yang terus berjalan. Hingga sekarang, inilah aku. Gadis remaja yang membutuhkan waktu untuk tidur dan sedikit perawatan mata.

Tanpa membuang waktu, aku segera mempertebal wajahku dengan bedak. Setidaknya agar orang-orang tidak mengenali wajahku yang kekurangan tidur dan kelelahan akibat menangis.

Aku mengenakan seragam batik, karena kebetulan sekarang hari kamis. Aku menyisir  dan memasang sebuah pita kecil dirambutku.

Cuaca hari ini lebih cerah dibandingkan kemarin. Semoga saja suasanya hatiku juga secerah langit. 
Baru beberapa langkah aku berjalan dari rumahku, aku sudah bisa melihat seorang itu berjalan mendekat.

Sepertinya ini bukan kabar yang baik.

“Hai.” Tatapan itu lurus, menatap kearahku. Aku membeku, tak menjawab sepatah kata pun. Mulutku terasa kaku untuk membuka. 

“Ayo, kita berangkat bersama!”

Aku tidak mengiyakan ataupun menolak. Tapi sepertinya kebisuanku dianggap sebagai jawaban iya. Dia mengikuti langkahku yang bergerak semakin cepat.

“Kate, sudah lama kita tidak berbincang. Bagaimana bila pulang sekolah nanti kita makan bersama dikantin? Aku traktir.”

“Maaf, Ester. Sepertinya aku tidak bisa.” Aku mempercepat langkahku dan dia terus berusaha menyusul.

“Kenapa?”

Kenapa katanya? Harusnya aku yang bertanya kenapa.

“Aku ada kegiatan sepulang sekolah nanti,” dustaku.

Wajahnya terlihat murung, “bagaimana jika besok?”

Tidak sekarang, hari ini, besok, lusa, atau kapanpun. 

“Kate, kau masih marah?”

Marah? Apakah aku marah padanya?  Aku juga tidak tahu. Kate terlihat mengharapkan jawabanku.

"Kate, kumohon jelaskan apa yang membuatmu menghindariku selama ini."

Apakah kau berpura-pura bodoh? Untuk apa aku menjelaskan? Tidak ada untungnya juga untukku.

"Kate."

Aku berlari meninggalkannya yang terus memanggil namaku.

“Kate! Tunggu aku! Kate! ”

Aku tidak tahu apa yang menggerakkan kakiku hingga aku bisa mengajak Lucy datang ke tempat ini. Taman ini masih seperti dulu. Pohon-pohon yang teduh, bunga warna-warni yang bermekaran, dan aku masih bisa mencium aroma pisang goreng yang dijual pedagang di samping taman.

Langit terlihat tidak bersahabat. Udara sudah menjadi dingin dari sebelumnya sehingga aku mengenakan jaket. Berusaha mengusir rasa dingin yang menjalar dikulitku.

“Kenapa kita kesini, Kate?”

Lucy duduk di bangku taman yang ada didepanku. Tanganku memetik sebuah bunga yang berwarna kuning dan berjalan menghampirinya.

“Kau mau tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Aku duduk disamping Kate.

“Tentang Ester?”

Aku mengangguk kecil.

“Kamu sudah siap untuk menceritakannya?”

Aku memberikan bunga itu untuk Lucy, “sudah, tapi ceritanya panjang, Cy. Aku tidak tahu harus memulai dari mana.”

“Terima kasih,” senyum Lucy mengembang setelah menerima bunga itu, “ mulailah dari mana saja. Aku siap mendengarkan.”

Aku menghela napas panjang. Agak ragu untuk memulai cerita.

"Sejujurnya aku menyukai Alex."

"Alex?" Lucy tampak terkejut.

Aku menundukkan kepala. "Ya. Alex Gracio, yang sekarang adalah kekasih 'sahabatku', Ester."


...

Tadi siang Ester menghampiriku lagi. Dia tidak menghujaniku dengan banyak pertanyaan kali ini. Hanya saja dia kembali menanyaiku apakah aku mau makan bersamanya. Dan tentu saja aku menjawab tidak, secara tidak langsung.

Aku bergegas keluar dari kelas dan menjauhinya saat bel tanda pulang sekolah sudah terdengar. Aku berpura-pura menjadi tuli. Dia memanggilku dengan keras dan aku sama sekali tidak memperdulikannya. Biar saja, nanti dia juga akan lelah sendiri untuk terus mengejarku.

Sekarang aku duduk di sebuah café yang berjarak tidak jauh dari sekolah. Aku memesan secangkir coklat panas dan cheese cake. Aku memang sengaja memilih kursi yang paling pojok dan berada di dekat jendela. Dari sini aku bisa melihat orang-orang yang berlalu-lalang.

Disitulah aku melihat Ester sedang berjalan bersama Alex.

Aku tidak terkejut sama sekali.  Atau lebih tepatnya aku sudah terbiasa. Mereka berjalan dengan sangat lamban. Aku tidak tahu kemana mereka akan pergi. Mereka terlihat menyebrangi jalan bersama. Aku terus memperhatikan mereka sampai mereka lenyap dari pandanganku.

Sudah terlalu sering aku merasa sakit karena cinta, sampai aku juga lupa bagaimana rasa sakit itu perlahan menghancurkan persahabatan kami.  

Apakah aku salah membiarkannya menjadi kekasih Alex lalu aku menghindarinya?

“Ada yang ingin dipesan lagi, Kak?” Seorang pelayan datang menghampiriku.

“Tidak. Ini saja sudah cukup.”

“Baiklah,” wajahnya tersenyum ramah kepadaku.

Sudah berapa lama aku berada disini? Astaga. Aku menyesap coklatku dan aku baru menyadari bahwa coklat ini sudah dingin. Gumpalan asapnya sudah tidak terlihat sama sekali. Mungkin aku harus segera pulang.



...
Tatkala rindu sudah tak terbendung.
Disaat mulut tak sanggup berkata-kata.
Mungkin, hanya angin malam yang sanggup menyampaikan pesan hati.

Untukmu yang tak pantas ku cintai, Alex Gracio. 

No comments:

Post a Comment