20 June, 2014

Menunggu Untuk Apa?

'Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh' -Kahlil Gibran



Cinta berwujud indah, namun terlalu liku untuk kita lalui. Bersama menerjang badai, menggenggam seonggok kesetiaan. Katamu, aku begitu berharga bak emas dua puluh empat karat.

Disela waktu luang, kau sempatkan untuk menengok emasmu. Membelainya dan menikmati kilaunya senyumku. Hingga suatu sore yang belum larut, aku manggut-manggut saja saat kau meminta untuk menunggu.

"Menunggu untuk apa?" Tanyaku.


Sayangnya, pertanyaanku tak pernah mendapat jawaban. Aku menurut saja.

Menunggu bukanlah hal yang mengasikkan. Tatapannya yang terlalu dalam berhasil menyeretku untuk setia. "Tunggu aku," masih berdengung keras.

Satu hari, dua hari, satu minggu. Kekhawatiran mulai berdatangan menyerang ketentramanku. Aku belum yakin mampu menikmati kesendirian yang tak menentu ini.

Cinta itu penuh dengan tanya, teka-teki yang wajib dipecahkan oleh sang pecandu. Aku menimbang, aku ingin menanyai kabarnya.


"Tuu..tt," sambungan telepon mulai terarahkan. Harapan demi harapan mulai berceceran.

"Tuu..tt," sekali lagi sambungan diarahkan dan sekali lagi tanpa jawaban.

"Tuu..tt," rasa penasaran kian menyerbu diriku. Hingga terangkat oleh suara dari seberang sana.

"Siapa kau? Jangan kau ganggu suamiku," ya, kurang lebih perempuan bernada tegas itu berkata demikian. Aku membisu dan sontak menekan tombol merah.

Cinta menjelma menjadi sebuah keris yang kapan saja akan menyayatku. Mengoyak seluruh gairah dan rasa penasaran yang sempat bergumul. Aku mengelus dada, "menunggu untuk apa?"

Disinilah pertanyaanku memperoleh keinginannya.

No comments:

Post a Comment