Keringatku bercucuran. Aku berusaha mengelap keringat yang sedari
tadi membasahi wajahku. Sekian banyak tissue telah kuhabiskan. Kurasa
aku harus pergi membelinya lagi. Matahari sedang tepat berada
diatas kepalaku dan kendaraan yang kutunggu sejak tiga jam yang lalu tak
kunjung datang. TIGA JAM.
Mobil itu pun menampakkan dirinya, melaju mulus, dan berhenti
tepat didepanku. Klakson dibunyikan dua kali. Kaca mobil diturunkan. Dia
memperlihatkan senyumannya. Pintu mobil dibuka dan dia berjalan keluar.
"Maaf telah membuatmu menunggu lama, Kate. Tadi aku harus
pergi sebentar dan tidak sempat meneleponmu lagi."
Aku langsung masuk ke dalam mobil tanpa membalas sepatah
katapun.
"Kate, dengar, aku tahu kamu mungkin marah padaku. Tapi
sungguh, aku minta maaf."
Aku mengambil earphone dan memasangkannya
ditelingaku. Aku memutar lagu hingga bervolume paling besar agar
aku tidak mendengar alasannya lagi. Seharusnya aku tidak masuk ke dalam mobil
ini. Seharusnya aku pergi saja dengan menaiki taksi. Seharusnya aku tidak
menunggunya. Seharusnya aku sudah tiba disana setidaknya dua jam yang
lalu!
Sewaktu aku bersiap-siap dirumah tadi, Alex tiba-tiba saja
meneleponku dan memintaku agar bisa pergi ke taman biasa sekarang juga.
Katanya, dia akan menjemputku disana, ada hal penting yang ingin dia bicarakan
kepadaku. Aku segera pergi menuju taman, mencari kesana-kemari, dan aku tidak
bisa menemukannya. Ini bukan lelucon karena aku telah membuang waktu sebanyak
itu, sementara pameran itu sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Pameran?
Oh, baiklah aku melewatkannya. Ester pasti akan sangat marah kepadaku.
Setelah tahu Alex akan menjemputku, aku langsung memberitahu Ester
bila aku akan menyusulnya nanti. Aku tidak mengatakan apa alasannya, namun
Ester menyetujuinya dan berangkat sendiri. Kenapa aku begitu bodoh untuk
menerima ajakan Alex? Maafkan aku, Ester.
Earphoneku ditarik paksa. Aku langsung ingin mencaci-makinya, tapi dia
menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
"Jangan berisik."
Dia mendekat dan mengecup lembut pipiku. Aku mendesah kuat.
"Bisakah kau belajar untuk menepati
janjimu? Bisakah kau belajar untuk tidak mengingkarinya?" Setetes air mata
berhasil lolos. Tidak, tidak. Aku tidak boleh menangis didepannya.
Ini memang sudah kesekian kalinya ia membuatku menunggu selama
itu. Dan ini juga yang kesekian kali aku menangisinya. Bodoh.
"Maafkan aku." Dia mengelap air mataku, memelukku erat
sekali.
Mobil pun melaju dengan kencang di tengah
keramaian ibu kota lima belas menit kemudian.
"Alex, kamu tadi pergi kemana? Kenapa
jemputnya lama sekali? Memangnya ada hal penting apa?"
Pandangannya lurus menatap jalan di depan. Sesekali menengok, tapi
dia masih belum menjawab menjawab pertanyaanku.
"Alex?"
"Hmm?"
Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi, tidak ingin memicu
pertengkaran. Aku bahkan tidak tahu kemana kita akan pergi selanjutnya, pameran
sudah tutup bukan? Biarkanlah, aku sedang malas bertanya.
Dua tahun yang lalu, aku bersama sahabatku Ester pergi ke sebuah pameran lukisan. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku sehingga kami pergi dengan menaiki motor. Ester tidak bisa menyetir
Aku bergegas masuk ke dalam pameran setelah memarkir motorku
dengan aman. Angin dari alat pendingin ruangan menyerbu menusuk kulitku. Jujur
saja, aku sebenarnya tidak terlalu mengerti dengan seni. Esterlah yang lebih
menyukainya. Aku datang ke sini hanya sekadar untuk menemaninya dan mengusir
rasa bosan.
Setelah puas melihat-lihat lukisan yang bahkan
tidak terlalu kuminati, aku mengajak Ester untuk makan.
"Aku ingin melihat yang ini sebentar. Kamu
pergi makan saja dulu, nanti aku akan menyusulmu. Takkan lama."
Aku mengangguk dan berjalan menuju sebuah tempat makan. Setelah
membeli beberapa makanan, aku berusaha mencari tempat duduk. Nihil. Tak ada
satu pun tempat duduk kosong yang bisa kutemukan.
"Kamu mau duduk ya?" Seorang pria yang sedang duduk
didekatku bertanya.
"Eh? Iya. Aku tidak bisa menemukan tempat duduk."
Aku memandang sekeliling lagi dan masih saja tak ada yang kosong.
"Duduk saja disini, aku sudah selesai makan." Pria itu
menyunggingkan sebuah senyuman. Aku sedikit ragu pada awalnya, namun tiba-tiba
ia berdiri dan meninggalkanku. Aku pun duduk dan menikmati makananku.
"Pria yang baik," gumamku.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ester datang
menghampiriku dengan membawa sejumlah makanan.
"Makananku sudah hampir habis dan kamu baru
tiba disini."
Ester duduk dihadapanku, "maafkan aku, Kate. Lukisan yang
kulihat tadi sangatlah indah. Ini untukmu."
"Dasar pecinta lukisan." Aku memakan kentang goreng yang
diberikan Ester sambil bercakap-cakap dengannya.
Kami kembali berkunjung ke sebuah pameran
lukisan sebulan kemudian. Bukan pameran yang sama. Kali ini pamerannya berjarak
cukup jauh dari rumah sehingga kami memutuskan untuk menaiki angkutan umum. Aku
sedang asik memperhatikan pemandangan yang ada di samping kanan-kiri sampai aku
menangkap sosok itu. Dia berdiri tak jauh dariku. Sepertinya dia memberikan
tempat duduknya kepada seorang nenek-nenek.
"Benar-benar pria yang baik," pikirku.
Aku berpura-pura tidak melihatnya karena pria
itu berjalan ke arahku. APA? Dia berjalan kearahku! Dia berdiri disampingku,
namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ah, biarkan. Mungkin
dia sudah melupakan aku.
Gedung pameran itu terlihat cukup ramai. Aku
bisa melihat wajah-wajah ceria dari orang yang berlalu-lalang disini.
Sepertinya banyak lukisan yang bagus. Pasti Ester akan sangat senang.
"Kate! Kita sudah sampai! Cepatlah aku sudah tidak
sabar!"
Aku melihat ke samping, mencari kesana-kemari.
Sosok itu sudah tidak ada lagi. Apakah dia sudah turun sedari tadi?
"Kate!"
Aku tersentak dan langsung bergegas turun.
Seperti biasa, Esterlah yang paling bersemangat bila ada sesuatu yang
berhubungan dengan lukisan.
Ester menarik tanganku dan aku pun mengikutinya.
Ruangan ini cukup besar. Aku mungkin bisa tersesat bila berjalan sendiri di
sini. Sekali dua kali Ester berseru kepadaku mengatakan lukisan ini bagus,
lukisan itu bagus. Aku hanya bisa mengangguk setuju.
Satu jam berlalu, Ester masih semangat melihat
lukisan. Aku sudah merasa cukup bosan sampai Ester memanggilku.
"Kate! Kemarilah! Coba kamu lihat lukisan ini."
Aku pergi ke arah Ester dan melihat lukisan yang ditunjuknya. Itu
adalah lukisan yang indah dengan objek utama seorang wanita yang sedang duduk
sendiri. Aku bisa merasakan bila gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
Gadis yang Berada di Tengah Keramaian.
Tunggu. Apakah itu aku?
Aku bisa melihat suasana yang digambar berada di sebuah tempat
makan. Persis sama seperti ruangan pameran yang kami kunjungi sekitar sebulan
yang lalu. Aku tidak mengatakan apapun kepada Ester. Mungkin ini hanya
perasaanku saja.
"Bagus sekali bukan?" Kali ini aku
mengangguk setuju, benar-benar sependapat dengan Ester.
"Kira-kira siapa ya yang membuat lukisan
ini?"
"Gracio," jawab Ester mantap.
"Apa?"
Ester menunjuk ke tulisan yang ada di bawah lukisan itu.
"Gracio. Lihat saja nama yang terukir
disini."
Gracio? Nama yang cukup aneh.
Beberapa hari kemudian, saat itu aku sedang berjalan-jalan di area
sekitar taman. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tapi masih banyak muda-mudi
yang berjalan-jalan disini. Aku duduk sendirian, sambil memakan beberapa
pisang goreng yang aku beli di samping taman. Semua orang terlihat ceria. Ada
yang bermain bulu tangkis, bermain layang-layang, sampai bermesraan
berdua.
Tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras. Orang-orang
berlarian menepi, tidak ingin dirinya terkena air hujan yang bisa membuatnya
sakit. Mereka berlomba-lomba membuka payung dan memakai jas hujan.
Aku lupa membawa payung sehingga aku juga bergegas pergi berteduh.
Setidaknya aku memakai jaket sehingga bisa mengusir dingin yang menjalar
dikulitku.
Seorang pria yang membawa payung berteduh disampingku.
"Hai."
Aku sedikit terkejut. Kulirik wajahnya sekilas, namun aku kurang
bisa memperhatikannya dengan saksama. Sepertinya aku mengenal pria ini, tapi
siapa? Aku hanya memperlihatkan sedikit senyuman lalu kembali memandang hujan.
Lihatlah, aku bisa menyaksikan hujan seperti ini selama yang aku
bisa. Hujan memang membuat kenangan menyerbu masuk. Tapi untuk apa memikirkan
kenangan yang buruk? Untuk apa merindukan kenangan indah yang pernah terjadi?
Semua sudah berlalu dan hanya akan tetap menjadi kenangan.
"Ini, gunakanlah." Pria itu
menyondorkan payung kepadaku.
"Tidah, terima kasih. Gunakan saja, aku
akan menunggu sampai hujan ini berhenti."
"Kalau begitu aku akan menunggu bersamamu."
Aku tidak menanggapinya, Kami pun terdiam untuk sementara waktu.
Hanya ada alunan air hujan yang terdengar, begitu menenangkan hati.
Aku belum pernah merasakan cinta. setidaknya cinta yang berbalas.
Pria itu sangatlah baik, tapi bisakah aku bertemu lagi dengannya? Lagipula kami
hanya pernah berbicara sekilas.
"Alex Gracio." Tangannya terulur
kearahku.
"Eh?"
Aku ragu untuk menjabat tangannya. Secara, aku sama sekali tidak
mengenalnya. Setelahku pikir-pikir tidak ada salahnya menambah teman. Aku pun
menjabat tangannya dan memperkenalkan namaku.
"Jadi kamu sedang apa disini? Sendiri
saja?"
Perbincangan pun dimulai bersama hujan yang setia menemani. Orang
ini cukup menyenangkan untuk menjadi teman bicara. Usianya sekitar satu atau
dua tahun lebih tua dariku. Tinggiku hanya sekitar tiga perempat darinya.
Benar, dia adalah Alex Gracio. Orang yang sudah memberikan tempat
duduknya untukku. Dia adalah orang di angkutan umum itu. Dia juga yang telah
menggambar Gadis yang Berada di Tengah Keramaian itu.
"Aku tertarik melihat dirimu yang sedang
kebingungan mencari tempat duduk. Saat kamu duduk ditempatku itu, diam-diam aku
memperhatikanmu dan aku melukisnya," kurang lebih begitulah jawabnya.
Aku bisa merasakan wajahku yang bersemu merah sekarang. Siapa
sangka aku bisa bertemu kembali dengannya untuk yang kesekian kali? Siapa
sangka orang yang tidak sengaja kau temui itu bisa membuat lukisan yang begitu
indah untukmu?
Perbincangan terus berlanjut sampai kami lupa hujan sudah reda
sedari tadi. Aku berjalan keluar, menginjak rumput yang basah, mencium aroma
kesegaran sehabis hujan.
"Jadi sampai disini saja perbincangan kita?"
Dia mengikutiku yang berjalan perlahan. Bulan sudah menampakan
dirinya bersama dengan bintang-bintang menyatu padu menjadi permadani hitam
yang indah.
"Mungkin lain hari?" Aku tidak percaya
telah mengatakannya. Dia tersenyum dan mengangguk setuju.
Sejak saat itulah aku mengenal pria yang sedang menyetir ini. Alex
Gracio. Nama aneh yang berhasil membuatku jatuh cinta. Bukankah kehadiran cinta
memang tak pernah direncanakan?
Kami pun tiba di sebuah café.
“Kate, kamu duduk saja dulu. Aku mau pergi ke toilet sebentar.”
Aku pun berjalan masuk, mencari tempat duduk yang kosong. Wanita
itu sedang duduk sendiri, memperhatikan handphone yang ada ditangannya.
Bukankah dia seharusnya berada di pameran?
"Ester!" Aku berlari kecil ke arahnya.
Dia tersenyum. “Hai, Kate!”
Aku duduk dihadapannya dan meletakkan tasku ke samping.
“Sedang apa kamu di sini?”
Sebelum Ester menjawab pertanyaanku, Alex berjalan perlahan ke
arah kami. Dia sudah berganti pakaian, mengenakan kemeja lengan panjang
berwarna putih.
“Kate, ini untukmu.”
Alex mengeluarkan setangkai mawar merah dan menyerahkannya
kepadaku. Aku tersenyum senang. Belum ada seorang pria yang memberikan bunga
untukku.
Aku menerima bunga itu, melihatnya sekilas.
“Terima kasih, Alex. Ini bunga yang sangat indah.”
"Kate, maafkan aku. Aku tidak bisa menjadi
seorang 'sahabat' yang baik untukmu. Aku terlalu sering melanggar janji. Aku
tidak bisa menjadi penghiburmu disaat kamu sedih. Aku tidak bisa menjadi orang
yang selalu ada untukmu. Sungguh, aku tidak bisa menjadi orang yang baik.
Maafkan aku, Kate. Aku memberikan bunga ini sebagai tanda permintaan maafku.”
"A-pa?"
Apa katanya? Sahabat? Aku hanya mengingat kata
itu, selebihnya aku tidak mendengarkannya. Baiklah, aku dan Alex memang
‘bersahabat’. Mungkin dia memang tidak ingin memiliki hubungan yang lebih dari
sahabat denganku.
“Ester.”
Alex berlutut di depan Ester dan menggenggam tangannya. “Ester,
selama ini aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa memendam perasaan ini lebih
jauh lagi. Aku memintamu kemari karena aku ingin memberikan sesuatu untukmu.
Dua pelayan datang membawa sebuah boneka raksasa dan sebuket
mawar. Alunan musik romantis berdentang, membawa suasanya café menjadi sangat
menyenangkan. Namun aku tidak bisa merasakan hawa kehangatannya sama
sekali.
“Will you be my girlfriend, Ester?”
Jadi inikah hal penting yang di maksud Alex?
Ester tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. Bulir-bulir air
matanya berjatuhan. Antara tertawa dan menangis, semua rasa bersatu menjadi
perasaan yang sulit didefinisikan.
“I-ya A-lex. Aku juga mencintaimu. Aku sangat
mencintaimu.”
Deg! Ternyata orang yang sangat aku percayai ini juga mencintai Alex Gracio.
Sontak mereka berpelukan dan seisi café memberikan tepuk tangan
yang meriah. Aku melihat banyak orang yang juga terharu dengan keromantisan
Alex ini. Sepertinya aku juga.
Hei, Kate. Kamu seharusnya bahagia mendengar
kabar ini. Bertindaklah sewajar mungkin. Jangan menunjukan kelemahanmu. Berikan
senyumanmu yang paling manis. Tunjukkanlah!
"Selamat ya, Alex! Selamat, Ester! Semoga
kalian berdua bisa terus bersama-sama sampai tua nanti. Aku turut senang
mendengarnya"
"Terima kasih, Kate!"
Alex mencium lembut kening Ester, "aku sayang padamu,
Ester."
Sewaktu ada hati yang sedang bahagia, selalu
saja ada yang terluka justru karena kebahagiaan itu. Semakin lebar senyuman
dibibirmu, semakin lebar pula luka yang tercipta. Karena cinta yang tumbuh
dalam dirimu hanya mekar untuk dilupakan.

"Permisi sebentar." Aku bergegas berlari
ke kamar mandi dan berusaha agar tidak menangis.
Jatuh cinta bukanlah pilihan, namun melepaskan
orang yang disayang adalah pilihan yang paling menyakitkan.
Apa maksudnya tadi memeluk dan mencium pipiku di taman? Apakah aku
yang terlalu melebih-lebihkan maksud dari tindakannya? Ternyata Alex sama
sekali tidak mencintaiku. Dia adalah pria yang baik, yang takkan bisa
kumiliki.
Selama ini aku percaya bahwa Ester tahu aku mencintai Alex. Selama
ini aku percaya mereka tidak akan pernah mengecewakanku. Kupikir Ester takkan
menjadi orang yang melukai sahabatnya sendiri.
Bukankah kita sudah bersahabat sejak dulu, Ester? Mengapa kamu
merebut kebahagiaanku? Aku bahkan takut mengecewakanmu dan kamu berhasil
menghancurkan kepercayaanku dalam sekejap.
Ah, aku tak pantas menangisi dia yang bukan siapa-siapa. Semua
usahaku takkan berarti, sebab cinta hanya akan menjelma menjadi hampa.
Inikah cinta yang dipuji orang banyak? Beginikah
rasanya? Mengapa terasa begitu menyakitkan?
Aku menghapus air mataku, berjalan keluar dan tidak kembali ke
meja itu. Aku pulang ke rumah, meninggalkan sejumlah kesedihanku di tempat itu.
Aku adalah gadis yang berada di tengah keramaian. Hanya mampu memendam cinta di
hadapan orang yang di sayang.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak banyak bicara dan menjauh, baik dari Ester maupun dari Alex.
Baca kisah sebelumnya: Sebuah Kisah yang
Belum Usai
No comments:
Post a Comment