Betapa malang nasibku dengan kenyataan tak selaras dengan mimpi-mimpi yang selalu ku rancang setiap malam. Aku merendam semua kegelisahanku dan berupaya menggantinya dengan harap. Hanya harap yang satu-satunya bisa terus ku genggam disaat seperti ini.
Dia menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidup, bukan untukku pastinya. Memang tiada rasa menyesal ataupun api cemburu yang merasuki. Namun, amarah dan murka sekejap langsung menampakkan diri. Kemana perginya dirimu yang tak pernah mendua?
Banyak pengamatanku yang membuat hatiku meronta untuk dipertemukan dengan dirinya. Bukan untuk kembali, untuk mencaci makinya. Sudah cukup banyak hal yang ku pendam sedari dulu hingga penuh dan harus ku beberkan kepada publik.
Amarah, murka, resah, semua bercampur aduk. Lalu apa rencanaku setelah itu? Air mataku kembali keluar. Kurasa aku tidak akan pernah sanggup meninggalkannya. Walaupun kau sudah tak seperti dulu, walaupun aku harus menanggung pelu seorang diri.
Seumpama dengan pohon inang dan benalu. Tak akan aku membenci dirimu yang terus menerus menyerap seluruh tenagaku. Meski ada derai air mata di pelupuk mataku, gigi rapi yang tersusun di mulutmu tetap harus kau pajang. Jangan pedulikan aku. Setelah selesai denganku, berubahlah menjadi anggrek dan berpindah ke dirinya. Kau tak boleh menyakitinya, aku melarang.
Tentu saja, bahkan sebelum aku berhasil melihatmu berganti rupa menjadi bunga, kau sudah menjelma menjadi yang lain.
Disini pohon inang, akan selalu menyaksikan dirimu yang berubah bagai musim.
No comments:
Post a Comment