Satu. Dua. Tiga.
Wajahnya terbayang dalam pikiranku. Terus terbayang, tak ingin berhenti. Dia menari-nari mengikuti alunan musik yang merdu. Sepanjang hari, sepanjang waktu. Kata-kata itu terus berputar di telingaku. Kata-kata busuk yang tidak pernah ku sangka hanya akan menjadi sebuah kata-kata.
Empat. Lima. Enam.
Aku terus memikirkan dirinya. Begitu banyak kenangan yang kita lewatkan bersama. Begitu juga air mata yang terjun dari mataku. Kau terus saja menari dan selalu merubah gerakan. Kuharap, kau juga bisa merubah semua kenangan pahit itu.
Tujuh. Delapan. Sembilan.
Tidak ada yang bisa menghentikanmu. Aku sudah memasang berbagai tanda larangan dan kau masih saja menari. Aku sudah memerintahkan pikiranku untuk mengusirmu. Aku sudah melakukan beribu cara. Dan kau masih saja menari dengan indahnya. Seolah-olah tak ada yang pernah terjadi.
Entah sudah berapa kali aku mengalami ini. Sejak saat itu, sejak kita melepaskan segalanya. Sebuah rantai cinta yang kita bentuk berbulan-bulan, kita patahkan dalam waktu sekejap. Penyesalan selalu saja timbul dan aku tetap tidak bisa merubah apa-apa.
Kau datang begitu saja kedalam pikiranku, tanpa ijin. Rasa itu tetap saja terkunci didalam sebuah peti yang selalu kau bawa-bawa saat menari. Semakin lama kau terus berada didalam pikranku, semakin lama pula aku terus merasakan rasa itu.
Aku tak ingin terbalut dalam kesedihan lagi. Aku tak ingin terbenam dalam masa lalu lagi. Pergilah dari pikiranku. Pergilah. Aku tak ingin membayangkan wajahmu lagi. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi kepadamu.
Tapi sepuluh, penari terbaik itu kembali menari-nari dalam pikiranku.
No comments:
Post a Comment