Hal yang sudah lama kami tunggu pun tiba. Bunyi bel istirahat. Seperti teman-teman yang lain aku sudah kenyang dengan 6 jam pelajaran fisika. Tanpa buang waktu, aku pun segera pergi ke kantin bersama sahabatku, Laura.
“Kamu mau beli apa, Jessica?” Tanya
Laura. Aku menunjuk pada makanan kesukaanku. “Nasi tim lagi, nasi tim lagi.
Kamu ngga bosen apa makan nasi tim terus?” Laura menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Aku tersenyum lebar. “Kamu mau beli apa, Ra?”
“Tadinya aku mau diet. Tapi aku mengurungkan niat ku deh. Aku mau makan nasi
goreng hari ini.” “Dasar kamu nih. Demi nasi goreng aja diet jadi batal.”
“Bu, nasi tim satu ya!” “Nasi goreng satu!”
Kami menunggu beberapa saat dan
akhirnya makanan yang kami pesan disajikan. Tercium aroma nasi tim dan nasi
goreng yang membuat perut semakin lapar. “Ayo kita cari tempat duduk, Jess! Aku
pengen cepet-cepet makan nih, lapar.”
Kamipun berkeliling mencari tempat
duduk. Tetapi, kami tidak bisa menemukannya. “Kita makan dikelas aja yuk!”
Bujukku. “Ayo!” Kamipun masuk kekelas.
“Jess, liat deh. Meja mu penuh lagi
tuh. Fans-fans mu ngga bosan ya kasih surat cinta terus?”
“Iya nih, Ra. Padahal
kan ini bukan valentine.”
Laura menatap surat-surat cinta
dimejaku. “Aku iri deh sama kamu. Belum pernah ada orang yang memberiku surat
cinta.” Raut wajah Laura berubah menjadi sedih.
“Sudahlah, Ra. Lagian ribet tau
nyimpen-nyimpen surat cinta. Tapi aku yakin kok suatu saat kamu bakal dapat
surat cinta, dari kekasih kamu pastinya.” Laura tertawa. “Iya-iya deh”
Kamipun segera makan. Sebelum makananku
habis, bel masuk telah berbunyi. Aku kebingungan. “Cepetan habisin, Jess! Sebelum
Bu Nani masuk.”
Aku berusaha makan dengan cepat. Tetapi
usahaku sia-sia. Bu Nani telah masuk ke kelas. “Jessica! Kenapa kamu masih
makan? Kamu ngga denger bunyi bel masuk tadi? Cepat kamu keluar! Berdiri
didepan kelas sambil pegang makanan kamu dan gigit sendokmu!”
Laura melihat kearahku dengan muka
kasihan. Akupun segera keluar dan menuruti perintah Bu Nani.
Meskipun bel masuk telah berbunyi,
masih banyak murid-murid yang berlalu-lalang. Mereka semua menertawakan diriku.
Aku sangat malu.
“Kringg…Kringg…Kringg…” Bel istirahat kedua telah berbunyi dan itu
berarti aku terbebas dari hukuman. Aku segera membuang nasi tim yang aku
pegang.
“Hey, jangan buang-buang makanan!” Aku
terkejut saat melihat ada lelaki yang berbicara padaku. “Kamu ngga kasihan ya
sama orang-orang yang susah payah membuat nasi tim ini?”
“Kasihan sih. Tapi selera makanku sudah
hilang sejak dihukum tadi. Jadi aku buang deh makanannya.” “Lain kali jangan
buang-buang makanan lagi ya!” “Iya, maaf.” Aku menjawab dengan kepala
tertunduk.
“Kenalin. Aku kakak kelasmu, Elvin.
Nama kamu siapa?” Kak Elvin mengulurkan tangannya. “Jessica.” Aku menjabat
tangannya. Jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang sekali. “Kakak masuk ke
kelas dulu ya, Jess.” Aku mengangguk.
Aku kembali masuk ke kelas. Aku
menceritakan kejadian tadi ke Laura. “Entah kenapa, aku ngga pengen lepas
tangannya dan pengen liat senyumnya terus.” Laura tertawa saat mendengar kata
terakhirku. “Berarti kamu jatuh cinta saat percakapan pertama, Jess. Ciee….”
“Ih, apaan sih?” “Tuh kan salting. Ciee yang
lagi jatuh cinta.” Laura terus-menerus mengejekku. Hal itu menyebalkan.
Keesokan harinya, saat jam istirahat,
aku dan Laura berjalan-jalan mengeliling sekolah sambil minum jus yang kami
beli. “Daripada makan terus mending jalan-jalan bentar buat diet.” Pendapat
Laura.
Lagipula aku juga ingin berkeliling. Siapa
tahu bisa bertemu dengan Kak Elvin. Beberapa menit lagi pelajaran akan segera
dimulai. Tapi aku belum bertemu dengan Kak Elvin. Aku kecewa sekali. Kamipun
kembali menuju ke ruang kelas.
“Jess, kok ngga kayak biasanya sih meja
kamu bersih dari surat-surat? Terus kenapa meja ku yang jadi penuh sama
surat-surat ya?” “Itu berarti Tuhan telah mengabulkan permintaan kita, Ra. Kamu
mau dapat surat dan aku tidak mau.”
Aku dan Laura melihat-lihat surat yang
Laura terima. Laura meunjukkan selebar kertas kepadaku. “Jess, lihat deh. Masa disurat
ini cuman ada gambar nasi tim? Ini mah bukan surat cinta, tapi daftar menu.” “Mungkin
dia lapar.” Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Meskipun surat itu bukan untukku, aku ingin
tahu siapa pengirimnya. Aku sangat penasaran. Tiba-tiba saja aku teringat
dengan Kak Elvin. Aku belum bertemu dengannya dari tadi. Apa aku harus dihukum
dulu ya baru aku bisa bertemu dengannya?
Saat pelajaran berikutnya, aku tidak
bisa berkonsentrasi. Aku terus memikirkan Kak Elvin. Aku tidak mendengarkan Pak
Tono yang sedang mengajar di depan kelas. “Jessica, kenapa kamu bengong? Coba
kamu jelaskan apa yang sudah bapak bahas tadi!”
Aku kebingungan. Aku mencoba bertanya
kepada Laura. Tiba-tiba saja, “Prakk...” Pak Tono memukul meja dengan keras.
“Bapak paling tidak suka anak yang
tidak mendengarkan Bapak saat Bapak mengajar. Kamu! Berdiri didepan kelas
dengan satu kaki dan tangan memegang telinga sampai pelajaran Bapak selesai!”
Lagi-lagi aku harus dihukum.
Saat aku dihukum, Kak Elvin kembali
lewat didepanku. Ternyata benar, aku harus dihukum baru bisa bertemu dengannya.
“Kamu dihukum lagi ya, Jess? Kok bisa?” “Iya, Kak. Gara-gara aku tidak
mendengarkan Pak Tono yang sedang mengajar.”
“Lain kali dengarkan guru yang sedang
mengajar ya!” “Iya, Kak.” Kak Elvin menacungkan jempolnya dan bergegas pergi
saat Pak Tono melihat kami sedang mengobrol .
Akhirnya, bel pulangpun berbunyi. Aku
segera masuk kekelas dan duduk sejenak. “Aku tadi ketemu Kak Elvin lagi loh.
Meski cuman bentar tapi setidaknya aku udah ketemu dia. Seneng deh.” Curhatku
kepada Laura. “Ciee Jessica. Ternyata kamu memang suka sama Kak Elvin” “Yaudah,
yuk kita pulang.” Aku mengalihkan pembicaraan. Kami berdua pulang bersama.
Terdengar suara klakson dari belakang.
“Hai Jess! Butuh tumpangan?” “Suara itu… Apakah itu Kak Elvin?” Tanya ku dalam
hati. Dan benar saja, itu Kak Elvin.
“Dia mau kok, Kak” Jawab Laura. “Heh?
Bagaimana denganmu? Masa aku ninggalin kamu sendirian?” “Tidak apa, Jess.
Lagipula kamu pasti capek berdiri terus dari tadi.”
“Bener nih, Ra?” “Iya bener, gunakan
kesempatan ini dengan baik, Jess.” Bisik Laura kepadaku. Aku pun tersenyum dan segera menaiki motor Kak Elvin.
Kak Elvin mampir dulu dirumahku. Kami
mengobrol bersama dan di perbincangan kami, aku menceritakan tentang surat-surat
cinta yang aku dapat.
Beberapa saat setelah Kak Elvin pulang,
Papa dan Mama ku tiba dirumah. Setelah makan malam, kami duduk bersama di ruang
keluarga. “Jessica, tahun depan kita akan pindah ke Surabaya.” Kata Papa ku.
Aku terkejut. “Surabaya? Kenapa kita
pindah, Pa?” “Papa dan Mama akan bekerja dikantor Surabaya. Tidak mungkin kan
Papa dan Mama meninggalkan kamu sendirian di Jakarta?”
Aku hanya diam dan tidak bisa
berkata-kata. Tidak pernah ku fikirkan kejadian ini akan terjadi. Tapi, aku
belum ingin memikirkan hal ini. Lagipula,aku masih punya waktu 1 tahun untuk membuat
semua hal di Jakarta menjadi kenangan terindahku. Aku juga belum mau
menceritakan hal ini kepada Laura dan Kak Elvin. Aku tidak ingin membuat mereka
sedih.
Semenjak kejadian itu, aku berusaha membuat segala sesuatu menjadi
hal yang istimewa. Aku selalu mencoba membuat waktu kebersamaanku dengan Laura
dan Kak Elvin menjadi berharga, menjadi hal yang terindah.
Aku mulai berfikir. Siapa orang yang
harus ku utamakan. Apakah itu Kak Elvin? Atau spakah itu Laura? Mungkin tidak
keduanya. Mereka sama-sama berharga dihidupku.
Setiap saat pulang sekolah, Kak Elvin selalu
ingin mengantarku pulang. Tapi aku tidak mau meninggalkan Laura sendirian. Lelaki
yang kita sukai bukan menjadi alasan untuk meninggalkan sahabat kan? Begitu
prinsip baruku. Meski dulu aku pernah meninggalkan Laura.
Kak Elvinpun memutuskan 1 hal. “Mulai
sekarang aku mau berjalan kaki juga deh. Biar bisa pulang bareng.” Jadi kami
sekarang selalu pulang bertiga.
Setiap hari, aku dan Laura mencoba
mencari tahu tentang si pengirim daftar menu. Tapi kami tidak pernah menemukan
orangnya. Orang itu hanya mengirimkan suratnya sekali. Sampai suatu hari dijam
istirahat…
“Jess. Lihat deh. Ada sendok di meja
ku.” Laura menunjukkan sebuah sendok kepadaku. “Kok malah ada sendok sih? Siapa
yang habis makan di mejamu?” “Ini bukan sendok biasa deh kayaknya, Jess. Coba
kamu lihat ini.”
Ternyata ada kertas yang ditempelkan
disendok. ‘Aku tunggu kamu’ “Wah, ini dari siapa ya? Apa dari si pengirim
daftar menu? Kalau iya, berarti dia mau ketemu sama kamu tuh, Ra.” “Tapi dimana
dan kapan ya?” “Pesannya kurang jelas nih. Coba deh kita cari pesan yang lain.”
Aku berkeliling kelas dan berhasil
menemukan satu sendok lagi di dekat pintu. “Ra, lihat! Ada sendok lagi. Disini
tertulis ‘Pulang sekolah’” “Pulang sekolah? Ah, info nya belum lengkap. Cari
pesan yang lain lagi yuk!”
Kami berkeliling kelas lagi dan Laura
berhasil menemukan sendok ketiga. “’Di tempat hukuman’. Maksudnya apa ya,
Jess?” “Tempat hukuman? Aku ngga tau. Sepertinya orang ini mau bermain
teka-teki dengan kita.”
Aku memiliki perasaan yang aneh. Nasi
tim, sendok, dan tempat hukuman. Rasanya aku tau siapa itu. Tapi aku tidak
yakin. Mungkinkah itu Kak Elvin? Tapi surat itu ditunjukkan untuk Laura, bukan
aku.
“Aku rasa sih tempat hukuman itu di
depan kelas, Ra.” “Kenapa kamu bisa bilang gitu?” “Engga tau. Pemikiranku yang
bilang gitu.”
Sepulang sekolah, akupun menemani Laura
untuk pergi ketempat hukuman itu. Dari kejauhan, terlihat seseorang yang
berdiri ditempat hukuman. Aku berjalan menjauhi mereka. Aku tidak ingin
mengganggu mereka.
Laurapun mendekati orang itu. “Kamu
yang kasih sendok ini ke aku ya?” Tanya Laura sambil menunjukkan sendoknya ke
lelaki itu.
Lelaki itu membalikkan badannya dan dia
terkejut saat melihat Laura. “Laura?” “Kak Elvin?” Aku terkejut. Ternyata
dugaan ku benar, orang itu memang Kak Elvin.
“Kok kamu yang mendapatkannya?”
“Bukannya sendok ini untukku? Kalau bukan untuk aku, seharusnya sendok ini
untuk siapa, Kak?”
“Sendok ini untuk Jessica.” Aku terkejut. “Un..tuk.. A..ku?” Jawabku
dengan tergagap. Aku berjalan mendekati mereka. “Iya kamu, Jess. Aku kan juga memberikan
sebuah surat yang bergambar nasi tim. Apa kamu dapat?”
“Tidak. Aku yang mendapatnya Kak.”
Laura menunjukkan surat itu ke Kak Elvin. “Kenapa malah jadi sampai ke Laura
ya? Harusnya kan ini semua untuk Jessica. Meja kamu baris ke-3 dan ke-2 dari
belakang kan, Jess?”
“Bukan. Itu meja Laura, Kak. Meja aku
di baris ke-2 dan ke-3 dari belakang.” “Waduh. Berarti Kakak salah dong? Maafin
Kakak ya Laura, Jessica.”
“Iya, Kak. Tidak apa-apa. Semua manusia
pasti pernah melakukan kesalahan kok.” Jawab Laura. “Iya, Kak. Bener kata
Laura. Oh ya, ngomong-ngomong Kakak kenapa suruh aku ke sini?”
“Kakak mau ngomong sesuatu sama kamu,
Jess. Kakak sebenernya suka sama kamu. Kakak sayang banget sama kamu. Sejak
pertama kita bertemu disini, Kakak sudah suka padamu. Kamu mau ngga jadi pacar
Kakak, Jess?” Kak Elvin mengeluarkan setangkai bunga mawar. Aku tidak
menyangka.
“Sudah, Jess. Terima saja. Pasti kamu
mau kan?” Laura memaksaku. Aku bimbang. “Sebenarnya, Jessica juga sudah suka
sama Kakak lho pas kalian pertama kali ketemu. Dia ada cerita sama aku. Dia kan
juga dihukum berdiri sama Pak Tono gara-gara bengong mikirin Kakak.”
“Ih, Laura. Jangan buka rahasia dong.
Aku malu tau.” “Bener itu, Jess?” “I..ya.. Kak..” “Lalu gimana? Kamu mau jadi pacar
Kakak ngga?” Aku bingung. Apa yang harus aku jawab? “Tapi janji ya Kak jika
kita pacaran jangan sampai waktu kebersamaan aku dan Laura jadi berkurang.”
“Iya, Jess. Pasti kok.” Laura tertawa mendengar pertanyaanku.
“Iya deh, Kak. Aku mau.” Aku menerima
bunga mawar yang diberikan Kak Elvin. “Makasih ya, Kak.” “Ciee.. Pajak jangan
lupa ya.” Ledek Laura. “Ih, apaan sih.
Inget dong, kamu kan lagi diet, Laura. Jadi ngga ada pajak-pajakkan.” “Kalo
kamu mau kasih pajak kan aku bisa tunda dulu dietnya.” “Dasar kamu giliran
gratis aja makan di nomor satuin.”
Kami bertiga tertawa bersama. “Oh ya,
Jess. Maaf ya Kakak jarang ngirim surat cinta lagi. Dulu kamu pernah bilang
kalau ngga mau dapat surat-surat cinta sih. Makanya Kakak ngga kirim surat
cinta lagi. Emangnya kenapa kamu ngga mau dikasih surat cinta?”
“Yahh, Kakak. Maksud aku dulu itu ngga
mau dapat surat cinta dari orang lain slain Kakak. Soalnya kan aku cuman mau
dicintai dan mencintai kakak.” Kak Elvin tertawa. “Jessica jago gombal juga
ternyata.”
Aku melihat Laura dan kak Elvin tertawa.
Aku membayangkan jika nanti aku tidak bisa melihat senyuman mereka lagi.
Semuanya pasti akan sangat menyedihkan.
Aku berjanji akan menjaga persahabatan
aku dengan Laura dan juga hubungan aku dengan Kak Elvin. Aku tidak akan membuat
mereka sedih.
Meskipun tahun depan akan ada jarak
yang memisahkan hubungan kami, aku percaya semua ini tidak akan hancur. Jarak
bukan alasan persahabatan dan percintaan menjadi retak kan?
Laura
tiba-tiba saja tertawa. “Ngeliat kisah cinta kalian aku jadi tahu satu
hal nih, Kak, Jess.” “Tahu apa, Ra?” Tanya aku dan Kak Elvin penasaran.
“Resep cinta kalian. Bahannya itu nasi
tim.”
“Alatnya sendok.”
“Dan tempat pembuatannya itu disini, ditempat
hukuman.”
No comments:
Post a Comment